Cerita Kampung Tua di Kampung Dumaring Kaltim, Kepala Adat: Rindu Rumah Putih

Cerita Kampung Tua di Kampung Dumaring Kaltim, Kepala Adat: Rindu Rumah Putih

Kepala Adat Kampung Dumaring Muhammad Asri (tengah) didampingi keponakan Abdul Muin (peci hitam) dalam sesi wawancara, Maret 2024.-radartasik.com-sandy abdul wahab

Dari cerita yang didapatnya, sebelum kemerdekaan, masa pemerintahan dipegang Nini Siang (1941–1945). Hingga pemerintahan kala itu beralih dan dipegang Nini Amin atau pembakal Amin yang tak lain ayah dari Muhammad Asri.

Pembakal Amin beserta beberapa tokoh adat seperti Bujang Barik, Bujang Bungul, Bujang Luat, Bujang Bangkung, Bujang Ayun, memindahkan pemukiman dari Libahu Muntui menuju Tepian Limau yang sekarang Kampung Dumaring. 

“Cerita bapak dan paman kami dulu, masyarakat harus pindah ke Tepian Limau. Nah paman kami ini Bujang Luat, namanya. Kemudian sesuai instruksi tumenggung dan ajikasan –pemerintah setingkat kecamatan--, kami harus pindah agar memudahkan administrasi dan lainnya,” terang dia.

BACA JUGA:Tim Restorasi Mangrove Dumaring Berau Membangun Benteng Pertahanan untuk Melindungi Hasil Penanaman Bakau

Alasan pemindahan tersebut juga untuk memudahkan mencari makanan dan tempat mengambil daun nipah untuk atap rumah. Pohon nipah tumbuh subuh di kawasan Tepian Limau atau kawasa pesisir pantai Kampung Dumaring saat ini.

“Pada masa itu, kalau mau bikin rumah dan mencari nipah itu ke Tepian Limau. Harus bermalam pula. Kan hutan belantara, jadi sulit ditembus,” katanya. 

Sebtulnya, sebut Asri, masyarakat kala itu tidak langsung pindah ke Tepian Limau. Masyarakat lebih memilih pindah ke Galang Biduk. Selanjutnya pindah ke Talun Lumbung (sekarang Sambar Buluh). Di sana didirikan rumah adat.


Kawasan Kampung Dalam atau Tepian Limau yang menjadi cikal bakal bermukimnya warga Kampung Dumaring.-radartasik.com-

“Tapi (rumah adat, Red) tidak besar seperti rumah putih. Saat di Talun Lumbung, Bapaknya Pak Suar (Suardi, Tokoh Adat, Red) sebagai Kepala Padang, seperti kepala dusun,” kenang dia.

Pilihan pindah ke Sambar Buluh ini bukan tanpa alasan. Asri menyebut, para sesepuh memutuskan bermukim sementara di Sambar Buluh, karena di Tepian Limau ada sesuatu hal.

“Dulu, Tepian Limau ini sebagai tempat Talun Pamalusan. Artinya wabah. Orang-orang meninggal. Satu rumah bisa lima orang meninggal, mirip kasus Covid (Covid-19). Sehari bisa 20 sampai 30 orang meninggal,” kata Asri diiyakan Abdul Muin.

BACA JUGA:Koramil Talisayan Mendukung Penuh Prakarsa Penanaman Pohon Bakau di Kawasan Mangrove Dumaring

Atas alasan itu, sambung Asri, tidak ada yang berani pindah ke Tepian Limau. Hanya saja, keberanian muncul dari lima keluarga yang tak lain keluarga Pembakal Amin.

“Keluarga kami ini yang berani. Jadi hanya sedikit orang saja ikut bapak kami (Pembakal Amin). Yang ikut itu, pertama paling tua Bujang Luat, Bujang Bari, Nini Latung, Nini Bungul atau Pak Budiman. Kata bapak kami, meninggal itu urusan Tuhan. Sekalipun kami saat itu belum memegang salah satu agama. Tapi, pindahnya kami ini harus ada tolak bala dan dibuat upacara adat,” bebernya.

Asri menggambarkan kawasan Tepian Limau sebelum menjadi perkampungan. Terdapat ribuan nisan berderet. Makam-makam tersebut merupakan korban Talun Pamalusan. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: