Cinta Sejati

Cinta Sejati

Di hari kedua semuanya baru jelas: ternyata Ramos lewat pintu biasa. Yang tidak dijaga. Tidak pula dikunci. Begitu keterangan resmi polisi setempat.

Dan itulah yang menimbulkan kemarahan. Mengapa tidak ada polisi di situ. Juga bagaimana pintu tersebut tidak dikunci. Padahal sekolah ini punya SOP pengamanan rinci sekali. Semua sudah diatur: petugas harus selalu siap. Pintu harus selalu terkunci.

Biar pun terpencil –SD ini di dekat perbatasan Amerika-Meksiko, hanya satu jam dengan mobil– punya anggaran khusus keamanan. Besar. Tahun 2020 lalu USD 450.000 –setara Rp 6 miliar. Naik dari tahun sebelumnya yang USD 250.000. Hanya untuk sistem keamanan sekolah. 

Rupanya polisi setempat ingin menutupi kelemahannya itu. Makanya sampai ada berita ”lewat pintu belakang dan sempat berbantah dengan polisi penjaga pintu”.

Kalimat itu sendiri sudah menimbulkan tanda tanya besar. Anda pun, yang di Indonesia,  mempertanyakan kalimat itu: kalau memang sempat berbantah dengan polisi mengapa tidak ditembak saja. Atau, setidaknya, diberi bogem mentah. Toh remaja itu kerempeng. Atau direbut saja senjatanya.

Ya sudahlah. Di mana-mana orang pandai berkilah. Kadang kilahnya keterlaluan ngawurnya.

Di saat para orang tua murid mendesak polisi, sebenarnya sudah ada polisi di dalam. Tujuh orang. Heran. Mengapa tidak segera mendobrak masuk ke dalam kelas. Kedatangan 7 polisi itu pun sangat telat: setelah 12 menit dari penembakan awal.

Yang disebut penembakan awal, kini juga kian jelas: Ramos menembak dua orang di dekat SD itu. Waktu itu Ramos baru saja mencerobokkan mobil pikap yang ia kemudikan di sebuah parit tak berair di sebelah SD. Di pedesaan Amerika parit itu lebih berupa cekungan tanah. Bukan parit yang ada plengsengannya.

Setelah keluar dari pikap –di Amerika disebut truk– Ramos mengambil senjata dan ransel. Ia sudah memakai rompi. Saat itu ia melihat ada dua orang muncul di jalan itu. Dari sebuah rumah perawatan mayat di dekat SD Robb. Ramos kaget. Dua orang itu juga kaget. Ramos pun menembak dua orang itu. Kena. Tapi meleset. Hanya terluka ringan. Tidak membahayakan.

Dari situ Ramos masuk ke sekolah. Menuju koridor. Lalu masuk kelas terdekat: kelas 4. Sebelum masuk kelas, kini baru lebih jelas. Meski belum jelas sekali. Guru kelas itu, Irma Garcia, melihatnya. Membuka pintu. Bicara dengannya. Ramos hanya menatap mata guru itu. Dengan tatapan yang tajam. Lalu ia mengucapkan kata ini: ”Good Night!”. Dor!

Ketika Ramos menatap tajam matanyi, Garcia mundur. Akan menutup pintu kelas. Lalu menguncinya. Tapi Ramos sudah lebih dulu menguasai pintu itu. Sambil terus menatap mata Garcia. Yang diakhiri dengan ucapan ”Selamat Malam!” itu. Dan dor itu.

Keterangan itu diberikan oleh saksi mata yang melihat sendiri adegan itu. Dia adalah Miah Cerrillo, siswi umur 11 tahun.

Miah juga melihat remaja bersenjata itu menembak guru satunya lagi: Eva Mireles. Mulailah ia menembaki siswa di kelas itu.

Sebagian siswi sempat menyelinap di bawah meja –seperti latihan yang sering mereka jalani. Miah pun sempat sembunyi di balik meja. 

Dia melihat remaja bersenjata itu pindah ke kelas sebelah. Melakukan hal yang sama. Miah berpikir cepat. Dia takut Si penembak kembali ke kelasnyi. Maka Miah putuskan untuk pura-pura mati. Dia menggeletakkan tubuh di lantai. Dia usapkan darah temannyi ke seluruh badannyi.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: