Menyerbu Warung

Menyerbu Warung

Hanya saja saya tidak bisa membeli warung itu sekalian. Itu bukan hak miliknyi. "Kami numpang di sini," katanyi.

"Sudah berapa tahun?“

“Sudah 40 tahun“.

“Di mana anak-anak?"

"Yang perempuan, dua orang, jualan bakso. Yang laki-laki, satu orang, jadi tukang parkir," katanyi.

"Di mana suami?"

“Sudah meninggal lebih 35 tahun lalu," ujar ibu berdarah campuran  Jawa-Madura itu.

Habis menyerbu warung itu, kami pun bisa ke Bangsring dengan gembira. Inilah pantai yang punya sejarah kelam: ikannya punah dan terumbu karangnya hancur. Nelayan sendiri yang menghancurkan ''sawah-ladang'' mereka.

Waktu itu nelayan menggunakan bom dan kimia. Untuk mencari ikan. Hancur. Lingkungan rusak. Berat. Hilanglah sumber mata pencaharian mereka. 

Sampai, akhirnya, muncul ''pahlawan lingkungan'' di desa ini: Ikhwan Arief. Waktu itu 24 tahun. Baru lulus S1 dari Universitas Islam Malang.

Ikhwan justru putra tokoh nelayan di sana. Ayahnya pemilik lebih 30 perahu nelayan. "Ayah saya termasuk yang menyalurkan bom dan kimia kepada para nelayan itu," ujar Ikhwan mengenang.

Ketika sekolah di Aliyah Situbondo, Ikhsan bergabung ke klub pencinta lingkungan. Bumi. Di situlah Ikhwan sadar: ayahnya termasuk perusak lingkungan.

Maka setelah lulus kuliah, Ikhwan mengajak bicara sang ayah. Bom harus dihentikan. Kimia harus diakhiri. "Tidak mungkin," tanggap sang ayah.

Ikhwan pun mencari jalan memutar. Setelah pagi mengajar di madrasah, ia mendatangi para nelayan.

Istri nelayan pun dicarikan kegiatan produktif. Anak-anak nelayan diberi wawasan lingkungan: lewat sekolah mereka.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: disway.id