Durian Tarmidji
Dahlan Iskan ke Kedai Kopitiam Asiang di Pontianak lima tahun lalu. Ia kembali ke sana untuk bertemu Gubernur Kalimantan Barat, pendiri Pontianak Post, dan tentu ngopi lagi di Asiang.--
Aktivitas rohani tidak harus melibatkan rasionalitas. Apakah kegiatan berdoa dan sembahyang itu rasional? Ini bisa diperdebatkan. Ada yang mengaku bisa merasakan kehadiran Tuhan, ada yang merasa tidak. Ini tidak harus dipertentangkan. Karena itu paling baik adalah saling menghargai keyakinan masing-masing. Bagi umat kelenteng, ciamsi dirasakan berguna dan bermanfaat. Ciamsi sebagai jembatan komunikasi antara umat yang membutuhkan dengan Tuhannya. Bagi yang tidak percaya, ciamsi itu tidak berguna, atau bahkan bersekutu dengan setan. Bebas saja. Tapi alangkah eloknya jika semua umat beragama bisa saling menerima perbedaan, tanpa harus ikut campur ke dalam urusan keyakinan masing-masing.
Pryadi Satriana
Darimana Pak Johan tahu itu aktifitas 'rohani' (yg melibatkan 'roh') dan bukannya aktifitas 'pikiran' yg berusaha 'mencari-cari jawaban atas permasalahan hidup' dg cara2 yg 'direkayasa oleh pikiran itu sendiri'? Saya mengikuti 'cara berpikir' dan 'terminologi' Anda: konsultasi! Anda paham arti 'konsultasi'? Saya anggap "konsultasi" ke ciamsi itu absurd. Kalau menurut Anda "it's okay", "just go ahead." Salam. Rahayu.
Johan
Mengenai praktik ciamsi, ini pada dasarnya hanya sebagai "sarana konsultasi", bukan sebagai arana meramal masa depan. Orang yang sudah mendapatkan "konsultasi" diharapkan akan lebih mempersiapkan diri untuk maksud tujuan yang ingin dicapainya. Masih ingat dulu, saya pernah menemani seorang anak muda yang lagi galau. Dia menyukai wanita teman kantornya. Tapi ragu ingin mendekatinya. Niat mencari kepastian untuk masa depan dengan si wanita, maka dia ajak saya ke kelenteng untuk ambil ciamsi. Kertas ciamsi yang didapatkannya tergambar seorang pemuda yang sedang berbaring di alam terbuka, sambil memandang bulan. Tulisannya apa saya kurang ingat. Yang menarik disini adalah penafsirannya. Saya tafsirkan anak muda itu kurang berusaha. Sama seperti anak muda yang digambar kertas ciamsi. Makanya nasibnya hanya seperti orang yang mengagumi keindahan bulan tapi tidak bisa menjangkaunya. Tapi belakangan saya baru tahu. Wanita yang disukai anak muda itu ternyata adalah "simpanan" seseorang yang punya kedudukan, di top management perusahaan tempat anak muda itu bekerja. Nah ini juga juga tepat menggambarkan hasil ramalan kertas ciamsi itu. Wkwkwk
mahfud huda
Banyak komentar di bawah yang mengkritisi pak Di, karena di anggap "mengajak" rang orang ke sirikan. Saya sudah/suka baca tulisan pak Di sejak tahun 90,dan seperti inilah tulisan pak DI. apa adanya. Itulah kenapa banyak yang titik titik.
EVMF
Barnum Effect "Barnum Effect disebut juga Forer Effect" adalah suatu fenomena psikologis ketika seseorang menganggap akurat deskripsi mengenai diri mereka yang seolah dibuat khusus untuk mereka, padahal deskripsi itu sebenarnya sangat umum sehingga dapat berlaku untuk banyak orang. Efek ini menjelaskan mengapa banyak orang percaya dengan praktek-praktek tidak ilmiah seperti ramalan. Fenomena yang terkait dengan Barnum Effect adalah validasi subjektif. Validasi subjektif terjadi ketika dua peristiwa yang acak dan tidak terkait dianggap berhubungan agar sesuai dengan keyakinan, harapan atau hipotesis seseorang.
EVMF
Barnum Effect "Barnum Effect disebut juga Forer Effect" adalah suatu fenomena psikologis ketika seseorang menganggap akurat deskripsi mengenai diri mereka yang seolah dibuat khusus untuk mereka, padahal deskripsi itu sebenarnya sangat umum sehingga dapat berlaku untuk banyak orang. Efek ini menjelaskan mengapa banyak orang percaya dengan praktek-praktek tidak ilmiah seperti ramalan. Fenomena yang terkait dengan Barnum Effect adalah validasi subjektif. Validasi subjektif terjadi ketika dua peristiwa yang acak dan tidak terkait dianggap berhubungan agar sesuai dengan keyakinan, harapan atau hipotesis seseorang.
ALI FAUZI
Pangeran Diponegoro menyelipkan kerisnya di bagian depan badannya. Itu terlihat dari gambar gambarnya. Padahal dalam budaya Jawa, terutama seputar Keraton Jogja dan Solo, keris itu diselipkan di bagian belakang tubuhnya, Ada yang tahu mengapa begitu....?
Pryadi Satriana
"Tentu saya juga masuk ke kelenteng Kwan Im. Meletakkan bunga di depan sang Dewi. Saya ikut saja apa yang dilakukan Suhu." Di bawah, Pak Mahfud Huda menyebut bahwa tulisan Pak DI itu "apa adanya." Culun. Pekok. Bego. Naif. Koclok. Dll. Terserah Anda menyebutnya apa. Mengapa demikian? Sudah 'kepala tujuh', sudah 'bangkotan'. Sudah 'puluhan tahun ngelmu tarekat', 'ngerti tasawuf', ikut mengelola 'pesantren keluarga', gelem dadi 'profesor' (hi..hi..) ... . Tapi yo iku mau, masih 'culun' bin 'lugu' (LUmayan GU*bl*k) bin 'naif'. Masih 'ikut saja apa yang dilakukan Suhu': 'masuk ke kelenteng Kwan Im. Meletakkan bunga di depan sang Dewi ". Hmm ..., seorang 'profesor' yg lekat dg dunia pesantren mosok ndhak tau bahwa tindakannya itu bentuk 'pemujaan kepada Dewi Kwan Im'. Dengan 'ikut saja apa yang dilakukan Suhu' sudah ndhak mengikuti sabda Rasullullah untuk ber-Islam secara kaffah. Apalagi pake 'mengocok siamsi' segala? Bukankah Yahudi yg sudah masuk Islam ditegur karena masih 'mempraktikkan' (baca: 'menguduskan') Sabat shg 'turun ayat' yg memerintahkan untuk ber-Islam secara kaffah? Apa penjelasan Anda, Pak Dahlan Iskan? Atau tetep aja memilih 'njegidek koyok reca'. Monggo. Sak kersa panjenengan. Salam. Rahayu.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: