Durian Tarmidji
Dahlan Iskan ke Kedai Kopitiam Asiang di Pontianak lima tahun lalu. Ia kembali ke sana untuk bertemu Gubernur Kalimantan Barat, pendiri Pontianak Post, dan tentu ngopi lagi di Asiang.--
Leong putu
Londo oh Londo... Walau kamu ndak seMalang gunung Kawi, kenapa nasibmu begitu malang ? Mungkinkah karena kamu kuwalat ke Indonesia sehingga kamu senasib dalam urusan Bola ? Lebaran masih jauh tapi Londo sudah mudik.
Macca Madinah
Foto sama Yana kok gak ada Bah? Eniwei, saya pernah ke sana, kebetulan dekat dengan peternakan sapi besar yg saya kunjungi juga. Lihat masjid, lihat klentengnya, ya sekedar lihat2 saja, waktu itu suasananya sepi, padahal pra pandemi. Kalau sudah tahu ada cerita tentang sawo kecik, mestinya waktu itu kunjungan saya bisa lebih berwarna.
Amat Kasela
Tidak harus panjang, yang penting bisa bikin menggelinjang. Tak harus besar, yang penting bikin nyaman. Itu!
Leong putu
Baik Pak Jo, kalau ketemu mbah Kliwon akan saya sampaikan. Namun saya ke gunung kawi bukan agar saya cepat kaya. Hanya agar saya bisa minum kopi yang bukan kopi sachetan. Di rumah, saya kadung sudah terlanjur sedia kopi sachetan sepuluh renteng (@ 10 sachet). Karna ingin ngopi yang sehat, saya akhirnya ngopi di warkop saja. Kopi espresso. Laaahdalaaah ancen sehat tenan, penjualnya cantik semlohe, ramah dan manja. Baru dua hari ngopi di sana, nasib lacur menimpa. Istri lewat untuk beli sayur. Tanpa banyak kata, hanya tatapan saja, saya langsung pulang. Gak berani ngopi di situ lagi. Kalau di gunung kawi sering ada wayang dan tahlilan pasti ada kopi tubruknya. Yang graaatis... wkwkwk.. Walaupun rumah saya jauh dari sana (dekat Surabaya) gpp lah. Naik mobil Inova gak masalah. Yang penting tidak kere lagi. #riya' tipis tipis.
Mirza Mirwan
..... itu berada mempercayakan kepada Majid untuk menjadi penjaga makam itu. Majid dibuatkan rumah di dekat makam dan juga lahan untuk bertani. Kian hari kian banyak yang datang ke makam itu. Dan memasukkan uang ke "kotak amal". Dari uang dari kotak itu Majid bisa memperbaiki rumahnya, membeli sawah dan sapi. Ia kemudian juga punya isteri, Rahimah. Karena tak punya anak, Majid tambah isteri lagi, Aminah. Juga tak punya anak. Aduuuh, meskipun hanya garis-besarnya saja, capek untuk menuliskannya di kolom dengan batasan karakter ini. Tapi pesan dari novel Lal Shalu (Tree Withouth Roots) jelas: kemiskinan bisa membuat orang yang semula taat beribadah menjadi penjual ayat demi kekayaan. Ia sadar itu salah. Tetapi kesadarannya tidak lantas membuatnya kembali ke jalan yang benar.
Jokosp Sp
Saya tadi terus baca ketika kemudian ..... juga punya istri, Rahimah. Karena tidak punya anak, Majid tambah isteri lagi, Aminah. Juga tidak punya anak. Stop ceritanya. Coba dilanjudkan, ketika dengan istri keduanyapun tidak punya anak, maka Majid kawin lagi dengan Syoimah. Juga tidak punya anak. Masih belum putus asa Majid kawin lagi dengan Saripah, tetap masih belum bisa punya anak. Majid akhirnya kembali ke istri tertua, karena umur sudah 76 tahun, dan raga sudah tidak bisa berdusta. TITIK.
Mirza Mirwan
Membaca CHD hari ini tiba-tiba saya teringat novel Syed Waliullah, novelis Bangladesh yang kemudian beristrikan Anne-Marie Thibaud dan tinggal di Paris, lalu meninggal di sana tahun 1971 dalam usia 49. Judulnya "Lal Shalu" dan diterjemahkan ke dalam Bahasa Inggris menjadi "Tree Without Roots". Novel itu juga tentang makam di Mahabbatpur -- dalam Lal Shalu disebut Mahabbatnagar -- yang kemudian ramai dikunjungi peziarah. Alkisah, di Bukit Garo ada seorang lelaki bernama Majid. Miskin. Seperti juga rerata warga Bukit Garo. Tetapi warga Bukit Garo sangat taat beribadah dalam kemiskinan mereka. Akan halnya Majid, ia capek hidup miskin. Suatu malam ia mimpi ada sebuah makam tua tak terawat di luar Desa Mahabbatpur, desa di bawah bukit yang terkenal subur makmur. Dalam mimpi ia seperti disuruh ke desa itu. Berbekal sepotong kurta (pakaian tradisional), 2 potong lungi (sarung), 2 potong handuk kecil dan tipis, serta sebuah al-Quran kecil, Majid datang ke Mahabbatpur, yang penduduknya tak peduli dengan ibadah. Dengan bahasa yang meyakinkan ia bertanya kepada penduduk, mengapa mereka tidak taat beribadah sebagaimana ulama cikal-bakal Mahabbatpur, bahkan juga menelantarkan makamnya? Memangnya tidak takut bila kena bala gegara kelalaian mereka itu? Serta-merta penduduk ingat bahwa ada makam tua tak terawat di luar desa. "Itulah makam pendiri desa kalian," kata Majid. Singkat cerita, penduduk segera membangun makam itu. Khalik, pemilik tanah di mana makam ....
Jokosp Sp
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: