Sobekan Lead
--
Sistop Tanjung
Dalam buku the power of gatholoco sistem terbuka apa tertutup bahkan telanjangpun tidak berguna, pemborosan anggaran saja ujungnya tetap cari duit dari komisi bansos sampai ijon proyek, yang benar tidak usah pemilu gantian aja tiap 5 tahun, di kopyok model arisan toh partai pemiliknya ya itu2 saja ga boleh diganti
anak rantau
Perang batin. "kamu harus komen sekarang!.. Tidak! Kamu harus komen!.. Tidak!... HARUSSS!!! iyadeh.... Daripada tidak pake celana dan beha. Hahahha. Reply: Imajinasi abah juga condong ke calon perempuan. Karna tidak ada laki laki pakai beha, hahaha Reply, #sunting_ulang_tulisan
Jo Neka
Saya salah satu pengujinya..Pak Dahlan Riya'..hihiii
Mirza Mirwan
Sebenarnya pelaksanaan pemilu sistem proporsional terbuka baru berlangsung tiga kali: 2009, 2014, dan 2019. Tetapi sudah dipelajari sejak awal milenium ke-3. Saat itu KPU -- Anas Urbaningrum masih menjadi komisioner -- mengadakan studi banding ke Norwegia. Saya lupa tahunnya. Di Norwegia memang jumlah parpol "ora mekakat" banyaknya. Padahal parlemen Norwegia, Stortinget, hanya punya 169 kursi. Nah, di Norwegia itulah KPU mempelajari pemilihan dengan sistem proporsional terbuka. Tetapi pada pemilu 2004 belum sepenuhnya menggunakan sistem terbuka, kecuali membagi daerah pemilihan yang sebelumnya sebanyak jumlah provinsi menjadi dapil-dapil kecil dan mencantumkan nama caleg di kertas suara. Barulah pada pemilu 2009 perolehan kursi berdasarkan perolehan suara terbanyak. Walaupun di nomor buncit kalau suaranya terbanyak (di partainya), ia berhak atas kursi yang dimenangi partai Bupati Lumajang yang disebut Pak DI mungkin mantan anggota dewan hasil pemilu 2009 atau 2014. Alih-alih selisih 6 suara, selisih 1 suara saja juga berhak atas kursi tersebut. Sayangnya, waini, KPU mengadopsi sistem pemilu di Norwegia yang warganya hidup makmur. Politik uang tidak berlaku di sana. Alih-alih hanya uang senilai 2kg beras dan 4bks mi instan, bahkan senilai 1kg daging sapi juga tak membuat pemilih Norwegia terpikat. Sayangnya lagi, waini yang menjengkelkan, sistem pemilu mengadopsi Norwegia, tetapi malah menetapkan parliamentary threshold. Padahal di Norwegia tidak ....
Lagarenze 1301
Maaf, posting ulang karena ada koreksi urgent nama Dekan FISIP Unhas: Ralat sedikit, Pak Dis. Dekan FISIP Unhas saat ini adalah Dr Phil Sukri MSi (2022-2026). Sedangkan Prof Syukur Abdullah adalah nama auditorium tempat promosi doktor berlangsung. Prof Syukur Abdullah (lahir 1939, meninggal 1992) adalah cendekiawan Unhas yang meraih gelar doktor pada 1985 (usia 46 tahun, muda untuk ukuran saat itu), dan dikukuhkan jadi guru besar administrasi negara setahun kemudian. Ia memang pernah jadi Dekan FISIP Unhas dan namanya diabadikan menjadi nama auditorium. Akan halnya Erniwati yang meraih gelar doktor dengan penguji eksternal Pak Dis, ia adalah wartawati senior Harian Fajar Makassar. Ia merangkak dari bawah sebagai reporter hingga kini menjadi Wakil Direktur Bisnis Harian Fajar. Harian Fajar sendiri tak lain korannya Pak Dis bersama Alwi Hamu.
No Name
abah ini kadang memang suka amnesia,mendukung sistem pemilu mau di kembalikan ke tertutup. apakah sudah lupa dengan korup nya partai2 politik? dengan sistem tertutup malah jelas2 merugikan rakyat pemilih. partai bisa seenaknya "dagang sapi" intinya sistem tertutup sangat disukai partai yg sudah besar dan lama berkuasa.
Jimmy Marta
Saya setuju. Terbuka di tempat tertutup. Tertutup ditempat terbuka. Ayo siapa yg mau membuka yg ditutup. Siapa yg mau menutup yg terbuka...
yea aina
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: