Pro Kontra Menjelang Pilpres 2024, Terutama Soal Presidential Threshold dan Batas Usia Minimal Capres
Diskusi politik bertajuk 'Menuju Pemilu 2024: Bincang Ulang Presidential Threshold dan Batas Minimal Usia Capres', yang diselenggarakan di Jakarta, Rabu 26 Oktober 2022- Foto: Sigit Nugroho untuk FIN.CO.ID---
"Saya berharap anak-anak muda ini, sudahlah jangan semua terserap ke istana, tapi juga jangan sampai terserap ke oposisi yang pragmatis, bikin gelombang sendiri, bikin gelombang yang rasional, gelombang yang akal sehat, gelombang yang betul-betul ingin membangun negara ini secara baik. Berkomitmen tidak korupsi kalau nanti berkuasa. Kita berharap orang-orang yang dulu jadi aktivis ketika duduk di istana, dia akan mewakili kepentingan kita," tegasnya.
Sementara itu, CEO Centenialz dan ex Presiden BEM Trisakti, Dinno Ardiansyah mengatakan bahwa aturan presidential threshold dan ambang batas usia capres merupakan sebuah kemunduran dalam demokrasi.
Padahal, milenial dan Gen Z memiliki peluang untuk menjadi pemimpin yang baik dengan pemikiran-pemikiran yang lebih progresif.
"Kami memandang bahwa ambang batas 20 persen, dan batas minimal usia presiden itu anti progresifitas, tidak pro kaum muda, dan menutup ruang para putra putri bangsa muda yang potensial untuk manggung sebagai pemimpin negeri," tuturnya.
Sementara itu mewakili anak muda, Influencer Cania Citta mengatakan presidential threshold memerlukan kesepakatan dari seluruh partai dan tidak dapat berdiri sendiri.
Cania Citta tidak merasa bahwa presidential threshold itu harus hilang 100 persen. Menurutnya, presidential threshold tetap harus ada, namun angkanya tidak perlu terlalu tinggi.
"Ada kebutuhan untuk bersepakat dulu di level partai, kalau gak ada yang bersepakat ya gimana mau berpolitik. Perlu ada kesepakatan di level tertentu. Cuma kayaknya gak perlu 20 persen juga ya (presidential threshold), kalau stance gue sendiri sih sekarang mungkin di level 4 persen saja," tuturnya.
Selain itu, Cania Citta juga memandang bahwa jalur independen non partai harus didukung. Sebab menurutnya akan menjadi masalah ketika misalkan Pilpres 2024 nanti, ditentukan dari hasil pemilu 2019.
"Dalam 5 tahun so many can happened. Jadi kalau gue gak setuju gimana nih sama partai ini, tapi di 2024 gue bakal dapat pilihan presiden dari partai ini karena itu sudah pilihan gue di 5 tahun yang lalu, dan itu gak bisa diapa-apain karena gak ada jalur yang lain misalnya kita organize sendiri dengan jalur independen," tegasnya.
Sementara itu, Politisi Partai Solidaritas Indonesia (PSI) Rian Ernest mengatakan, pagi partainya, belum ada sikap resmi mengenai presidential threshold. Namun secara pribadi, ia menilai presidential threshold itu tidak perlu diterapkan.
Rian Ernest mencontohkan di negara-negara yang demokrasinya sudah baik seperti Amerika Serikat, bahkan istilah presidential threshold itu tidak digunakan.
Namun, jika memang tetap harus dipergunakan, paling tidak nilainya sama dengan parliamentary threshold.
"Jadi kita jangan menganggap presidential threshold ini suatu hal yang biasa atau wajar, sebab kalau meminjam istilah bang Refly Harun, ini hanya bikin-bikinan bos-bos elite saja," tutur Rian Ernest.
"Presidential threshold ini kalau buat saya pribadi, kita gak setuju, tapi paling tidak kita kurangi," sambung Rian Ernest.
Diketahui, hingga saat ini UU mengenai presidential threshold sudah 28 kali diuji materi di Mahkamah konstitusi namun selalu gagal.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: fin.co.id