Siapa Membunuh Putri (22) - Putusan Sela
Ilustrasi sidang.--
Hati dan hari-hariku terisi dan terhibur oleh Inayah. Memenuh. Meneduh. Dia adalah terjemahan lain dari cinta. Cinta yang membuatnya berimajinasi lain. Dia beberapa kali mengajakku dan anak-anak panti yang tinggal di pesantren bermain ke pantai yang banyak terbentang di pulau-pulau yang tersambung jembatan Gortam.
Kami seperti ibu dan ayah bagi anak-anak yatim itu. Kami seperti suami istri. Dia sibuk dan cemas dengan anak-anak yang riang berenang. Sesekali menyuruh aku menyusul mereka yang bermain terlalu jauh ke tengah laut. Aku membayangkan, seperhatian itulah nanti dia mencemaskan anak-anak kami.
”Apa kabar Suriyana, Mas?” tanya Inayah.
Saya agak terkejut. Terdiam dan sejenak kami bertatapan.
”Eh, salah ya? Boleh tanya kabar dia, kan?”
”Boleh. Dia kayaknya baik-baik saja tuh...”
”Kok kayaknya?”
”Ya, karena dia tak pernah mengabari apa-apa lagi, setelah malam itu...”
Sejenak kembali kami saling diam.
”Mas, bulan depan, ayah sama ibu mau datang ke sini. Mas mau ketemu nggak?”
”Oh, tentu mau. Nanti pastinya kapan beri tahu aja ya,” kataku.
Inayah lalu bercerita tentang ayahnya yang pernah menjadi wartawan dan kemudian menjadi dosen di Pekanbaru. Inayah anak sulung. Dia yang paling ingat, masa-masa ayahnya masih bekerja sebagai wartawan.
”Bangga sekali dia menjadi wartawan. Tapi tekanan-tekanan yang dia terima karena pemberitaan medianya membuat dia menyerah. Menjadi dosen bukan pekerjaannya idamannya. Meski dia sangat suka mengajar, seperti ibuku yang juga guru,” kata Inayah.
”Jadi, bakat mengajarmu itu karena ibumu juga guru dan ayahmu dosen,” kataku.
”Ya, betul. Dan saya melihat ada sosok ayah dalam dirimu, Mas. Ayah yang dulu wartawan,” kata Inayah.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: