Siapa Membunuh Putri (20) - Jangan Mengadu Domba
Ilustrasi polisi.-Pixabay-
Oleh: Hasan Aspahani
PULANG dari makan malam di kelong, di Watubesar, Inayah memintaku menemaninya kembali ke pesantren. Edo saya minta pulang sendiri. Di mobil, selama perjalanan ke Watuaji, Inayah bercerita banyak tentang rencana-rencananya mengembangkan pesantren, koperasi, dia bahkan punya ide bikin majalah dakwah.
”Redaksinya siapa?” tanyaku.
”Anak-anak pesantren. Kamu sudah lihat tulisan mereka kan?”
”Sudah, bagus-bagus. Beberapa dari mereka berbakat. Siapa itu? Indra sama Aidil itu yang paling berbakat.”
”Rodi juga. Anak dari panti dulu itu,” kata Inayah.
”Iya dia juga,” kataku. Tapi kuingatkan dia, untuk menerbitkan majalah tak hanya perlu penulis yang bagus. Perlu modal yang cukup untuk biaya cetak di tahun-tahun awal, perlu pengelola bisnis yang paham dunia media.
”Kan ada kamu, Bang Dur. Kamu terbukti berhasil membesarkan dua koran. Kata Ustad Samsu sih gitu. Iya kan?”
”Mau merekrut saya nih ceritanya? Bu Ustadzah Inayah investornya? Saya mau digaji berapa nih?” kataku menggoda dia.
”Saya paksa untuk kerja tanpa gaji. Mau?”
”Atau….,” kataku menggodanya dengan kalimat menggantung.
”Atau apa?” suara Inayah berubah manja dan balik menggoda.
”Atau, bayar saya dengan cintamu. Saya mau…,”
“Oh, kalau itu gak cukup dengan kerja gratis di majalah dakwah itu saja. Dan kontraknya harus sampai mati,… Berani?”
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: