Sama Sulit

Sama Sulit

Begitu melihat kedatangan saya, kak Alwy langsung bereaksi. Saya tempelkan jari telunjuk ke mulut saya. Saya memberi kode untuk tidak bicara-bicara dulu. Istrinya lagi salat duhur di sofa sebelah ranjang. Sang istri seorang profesor ekonomi. Sudah pensiun dari Universitas Mulawarman. 

Putrinya juga ada di situ: seorang dokter. Ditemani satu anaknyi berumur 8 atau 9 tahun. Sang putri sebenarnya lagi kuliah untuk jadi spesialis anak di Unhas, Makassar.

Belum lagi saya mulai bicara, Kak Alwy sudah membuka mulut. Bicaranya jelas. Tegas. Seperti tidak sedang sakit.

Saya sulit berbasa-basi. Maka kondisi baik itu saya manfaatkan untuk menggali ''sejarah lama'': bagaimana Mimbar Masyarakat didirikan. Ia tinggal satu-satunya saksi hidup. Pelaku utama pula.

"Kak Alwy itu kan orang Banjar. Lahir di kampung apa?" tanya saya.

Kak Alwy tidak segera menjawab. Ia memperbaiki posisi corong oksigen yang menutup hidungnya. Ia seperti ingin mengatakan sesuatu yang lama tersimpan hanya di pikirannya.

"Saya lahir di Sengkang...." katanya.

"Haaaahhhhhh.....?" seru saya spontan. "Jadi... Pian itu bukan orang Banjar?" tanya saya seperti tidak percaya.

"Umur 40 hari saya dibawa bapak dan ibu ke Samarinda ini," jelasnya.

Ayahnya pedagang eceran. Di Pasar Pagi. Di pinggir sungai Mahakam. Memang banyak orang Sulawesi jadi pedagang di pasar itu. Mereka dikenal sebagai pekerja keras. Juga sering berkelahi. Sesekali ada peristiwa saling bunuh. Saya yang memberitakannya.

Ia tumbuh, besar, sekolah di Samarinda. Ia sekolah di Normal Islam Samarinda saat SD dan SMP. Setamat SMAN Kak Alwy kuliah di Unair Surabaya. Belum lagi setahun, ia mendapat kabar: ada akademi perniagaan dibuka di Banjarmasin. Tiga tahun sudah bisa lulus. 

Kak Alwy ingin cepat lulus. Maka ia pindah ke Banjarmasin. Setahun kemudian akademi itu dilebur menjadi fakultas ekonomi Universitas Lambung Mangkurat. Tiga tahun kemudian ada mahasiswi masuk fakultas baru itu: itulah yang kelak jadi istri Kak Alwy.

Di Unlam kak Alwy jadi aktivis mahasiswa. Ia terpilih jadi ketua Senat Mahasiswa Fakultas Ekonomi. Pidatonya selalu menarik. Dalamnya pengetahuan agama cocok untuk lingkungan Banjarmasin. 

Setelah jadi ketua senat, Kak Alwy terpilih lagi menjadi ketua Dewan Mahasiswa Unlam. Ia jadi aktivis. Nama Alwy As sangat terkenal. Sebagai aktivis mahasiswa kak Alwy juga sering memimpin demo. Bahkan tidak lama setelah meletus G-30-S/PKI, Kak Alwy mendirikan KAMI –Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia Kalsel. Di sini Kak Alwy mengenal tokoh-tokoh nasional KAMI seperti Willy Karamoy, Nono Anwar Makarim, dan Ismet Hadad –yang kelak jadi mentor saya juga.

Selama di KAMI itulah Kak Alwy mendirikan buletin mingguan KAMI. Isinya: mengganyang PKI dan Orde Lama. Menjatuhkan Bung Karno. Karena rajin demo, Kak Alwy sering ditahan tentara. Sampai tiga kali –yang pertama selama 40 hari.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: disway.id