Lebaran Lesung
Genjah Arum berada di kampung suku Osing. Cucu-cucu bertanya apa itu Osing. Kesempatan bagi kami untuk menjelaskan soal Osing ke generasi baru.
Memasuki Sanggar Genjah Arum mirip masuk ke banjar di Bali. Tujuh bangunan terbuka ada di dalamnya. Dengan arsitektur lokal. Tertata rapi. Indah. Berseni. Banyak yang bisa dilihat di situ.
Saya mengajak cucu-cucu ke bagian pemrosesan beras di masa lalu. Di masa saya remaja.
Peralatannya lengkap. Asli. Dari zaman nan dulu. Ada beberapa lesung (tempat padi ditumbuk). Terbuat dari kayu utuh. Yang sudah dimakan usia. Banyak alu (tongkat penumbuk). Ada tampah-tampah. Juga banyak peralatan dapur masa lalu.
Di situ tersedia padi kering yang sudah ditata di pikulan. Saya minta cucu laki-laki memikulnya. Seperti petani dulu memikul padi dari sawah ke rumah.
Lalu saya ambil satu gepok padi. Saya masukkan ke lesung. Semua cucu harus memegang alu. Lalu menumbuk padi itu ramai-ramai.
Seru.
Suara lesung pun riuh –kena tumbuk alu bertalu-talu.
Saya ambil tampah –nampan besar terbuat dari bambu. Padi dari lesung yang sudah mengelupas itu saya pindahkan ke tampah.
Saya peragakan bagaimana petani masa lalu memisahkan beras itu dari kulitnya. Yakni dengan cara mengentakkan tampah itu. Agar isinya melambung. Bersamaan dengan itu saya tiup lambungan gabah itu. Kulit gabah pun terbang meninggalkan tampah.
Itu saya lakukan berkali-kali. Sampai hanya beras saja yang masih tertinggal di tampah.
Itulah cara petani dulu mendapatkan beras. Betapa sulitnya. Saya masih bisa melakukan semua itu. Masih ingat. Tidak mungkin lupa. Itu pekerjaan saya di masa remaja. Saya bisa mendapatkan sedikit upah melakukan itu. Di rumah tetangga orang tua saya di Magetan.
Para cucu pun mencoba satu per satu. Bergantian memegang tampah. Mengayunkannya. Meniup benda yang terayun itu. Dengan susah payah. Dengan kelucuan masing-masing.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: