Sujatnika, yang juga Direktur Aksenta, mengungkapkan bahwa Tanah Patiraja memiliki nilai budaya dan sejarah yang sangat tinggi dan tak tergantikan bagi warga Kampung Dumaring, khususnya penduduk asli yang telah menghuni wilayah ini secara turun-temurun dari generasi ke generasi. Berbeda dari tanah-tanah ulayat lainnya di Kampung Dumaring, yang penguasaannya berada di satu atau beberapa keluarga, Tanah Patiraja merupakan tanah ulayat bersama dari semua penduduk asli Kampung Dumaring.
BACA JUGA:Jaga Kelestarian Hutan Mangrove, Warga Kampung Dumaring Melakukan Tanam Perdana Bibit Pohon Bakau
Tanah Patiraja adalah lokasi pemukiman pertama dari cikal bakal penduduk asli Kampung Dumaring. Dalam sejarahnya, pusat pemukiman telah berpindah dua kali, hingga ke lokasi saat ini di tepi jalan provinsi yang menghubungkan Tanjung Redeb, Sangatta, dan Samarinda.
Selain nilai sejarah dan budaya, Tanah Patiraja juga memiliki nilai hidrologis dan ekologis yang tinggi. Secara hidrologis, hutan di Tanah Patiraja merupakan daerah tangkapan air yang sangat penting bagi kehidupan warga Kampung Dumaring, termasuk destinasi wisata Taman Sungai Dumaring. Setidaknya dua aliran sungai utama di wilayah ini, yaitu Sungai Dumaring dan Sungai Semuluk, sangat bergantung pada hutan di Tanah Patiraja sebagai resapan air.
Secara ekologis, hutan di Tanah Patiraja juga merupakan habitat beragam spesies satwa liar, termasuk 6 dari 8 spesies burung Rangkong endemik Kalimantan (di seluruh dunia hanya dijumpai di Pulau Kalimantan), macan dahan sub-spesies Kalimantan (Neofelis diardi borneensis), dan beruang madu (Helarctos malayanus). Selain itu, di Tanah Patiraja, juga dijumpai indikasi kuat keberadaan Harimau Kalimantan (Bornean Tiger; Panthera tigris jacksoni), yang oleh para ahli disimpulkan telah punah.
Menurut Sujatnika, ancaman aktual dan potensial terhadap hutan di Tanah Patiraja dan lanskap sekitarnya berasal dari konversi lahan untuk pengembangan perkebunan dan pertanian, baik skala kecil individu, skala menengah kelompok masyarakat, maupun skala besar korporasi. Di lanskap sekitarnya, semakin banyak lahan yang dahulunya berupa hutan telah berubah menjadi lahan pertanian dan perkebunan.
Analisis perubahan penggunaan lahan yang dilakukan oleh Tim GIS (Geographycal Information System) Program Kolaborasi Konservasi Hutan dan Sungai Dumaring mengungkapkan bahwa, dalam 20 tahun terakhir, lanskap di mana areal Tanah Patiraja terletak telah mengalami deforestasi (hilangnya tutupan hutan) dan degradasi (menurunnya kualitas tutupan lahan) yang signifikan.
Para tokoh Kekal Patiraja mengatakan bahwa tanah ulayat mereka dahulu sangat luas, membentang dari alur Sungai Bakil, di sebelah barat, hingga alur Sungai Dumaring, di sebelah timur, dengan taksiran luas mencapai 4.000 hektare.
Namun tanah ulayat ini luasnya terus berkurang dari waktu ke waktu akibat terjadinya perubahan penggunaan lahan. Sebagian telah berubah menjadi areal perkebunan besar kelapa sawit (perusahaan), sebagian menjadi areal perluasan pemukiman, dan sebagian lagi telah dipecah-pecah menjadi lahan garapan masyarakat, baik masyarakat asli maupun masyarakat pendatang, dengan tanaman utama kelapa sawit dan padi gunung (padi lahan kering).
Tanah Patiraja seluas 673 hektare adalah tanah ulayat yang tersisa. Para tokoh Kekal Patiraja sangat berharap tanah ulayat mereka yang masih tersisa ini dapat dipertahankan keberadaan dan keutuhannya serta mendapat pengakuan Negara melalui hak komunal (hak milik bersama pemegang ulayat atas tanah ulayat mereka). (*)