Gunung Poso

Gunung Poso

Momen ketika Farid Makruf dan Kapolda Sulteng saat itu Irjen Abdul Rakhman Baso terlibat dalam operasi terorisme di Sulteng.-disway.id-

Ke mana rekaman dari istri dan anak itu dikirim?

"Mereka punya aplikasi khusus di Telegram. Kita unggah ke sana," ujar Farid.

Maka begitu Farid diangkat jadi Danrem Sulteng, ia bertekad harus bisa menuntaskan operasi di Poso. Ia kenal baik Kapolda Sulteng saat itu: Abdul Rahman Baso. Sampai saat itu TNI belum terlibat penuh di Poso. Tapi persahabatan Farid-Baso membuat kerja bisa tuntas. Konsep penuntasan Poso dari Farid pun disetujui Pangdam Merdeka di Manado. Juga disetujui Mabes TNI dan Mabes Polri.

Poso pun kini sudah terbebas dari kombatan bersenjata. 

Penuntasan operasi Poso itu segera dibukukan. Farid menilai peran Kapolda Baso saat itu sangat besar. Juga peran Kapolda sebelumnya: Irjen Pol Syafril Nursal. Termasuk satuan-satuan TNI-Polri yang ada di dalamnya.

Salah satu adegan dalam operasi pemungkas itu sangat dramatis. Yakni ketika pasukan sudah mengepung tenda-tenda kelompok Ali Kalora. Gunung itu sangat tinggi. Gelap. Dingin. Pasukan harus merangkak di kegelapan. Mereka harus mendekati tenda kombatan. Harus pakai kaca mata pengintai. 

Entah kenapa kaca-mata-malam-hari pasukan itu mati. Begitu gelap. Mereka harus terus merangsek dalam gelap. Ketika alat pengintai itu tiba-tiba berfungsi pasukan bisa melihat lagi di kegelapan. Kaget. Ternyata sudah terlalu dekat ke tenda yang diincar.

Tapi momentum penyergapan belum tiba. Pasukan itu harus menunggu komando. Sambil harus mematikan diri di semak-semak. Tak lama kemudian ia melihat ada anggota kombatan yang keluar tenda. Orang itu berjalan menuju arah pasukan yang mematikan diri. Pasukan itu pun terkena percikan air kencing. Dua kali. 

Malam itulah penyergapan terakhir terhadap kelompok kombatan Poso. Tewas semua. Ternyata ada enam mayat. Berarti masih ada tiga lagi yang tersisa. Tinggal tiga. Lokasinya pun sudah diketahui. Sudah dikurung. Sudah diisolasi. 

Farid dapat berita: masa tugasnya sebagai Danrem habis. Sudah dua tahun. Ia harus menerima tugas baru di Mabes TNI di Jakarta. Umumnya, bisa keluar dari Sulteng sangat disyukuri. Apalagi pindahnya ke Jakarta. 

Tapi Farid justru minta perpanjangan jabatan. Tiga bulan saja. Ia merasa tugasnya belum tuntas. Korem Sulteng disebut Korem Tadulako. Tugas harus tuntas secara gemilang.

Di samping soal operasi di Poso, masih ada operasi teritorial lain yang belum selesai. Farid lagi membangun mini hydro di Desa Rejeki, Palolo, sekitar 2 jam naik ke gunung arah Tenggara Palu. Desa di situ belum tersentuh listrik. Tiga bulan berselang mini hydro itu sudah bisa menghasilkan listrik. Murah. Bisa untuk penduduk satu desa. 

Kini Farid menjabat Pangdam V/Brawijaya. Bintang dua. Ia memang memegang teguh doktrin ''jangan besar dari jabatan, besarkanlah jabatan'', tapi jabatan Pangdam Brawijaya adalah jabatan yang sudah besar sekali.

Sebagai Madura Asli, Jatim adalah kampungnya. Kenal istrinya pun di Bangkalan. Sang istri adalah adik kelasnya di SMAN 1 Bangkalan. Almarhum ayah sang istri, asal Bogor, pimpinan Bank BRI di Bangkalan. Ibunyi, asal Palembang. Karena itu dia sekolah SMA di Bangkalan.

Jenderal Farid sendiri masih punya ayah dan ibu: di Tanah Merah, sebelah timur jembatan Madura. Ayahnya sudah tua. Sudah sulit mengingat masa lalu. "Kalau pulang, saya harus berpakaian dinas militer. Agar ayah langsung ingat siapa saya," ujar Farid.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: