Bukan Dinasti

Bukan Dinasti

--

Menurut Koumintang, dengan perdagangan bebas itu, maka soal ketegangan dengan Tiongkok akan selesai. Tanpa saling klaim. Toh sudah seperti Kanada dengan Amerika. Atau seperti Uni Eropa. Tapi ide itu dianggap berlebihan: jalan pintas menuju penyatuan.

Sebenarnya di Pilpres tahun 2020 itu hampir pasti Han yang akan menang. Nasibnya saja yang belum ada: ada gempa politik di Hong Kong, guncangannya lebih keras di Taiwan.

Ke depan orang akan melihat kiprah Chiang muda sebagai wali kota Taipei. Kalau saja setahun ke depan Chiang sangat mengesankan, bisa jadi ia akan mencalonkan diri di Pilpres 2024. Maka kembali Taiwan ke tangan Koumintang.

Anak Chiang Kai-shek masih jadi presiden Taiwan: Chiang Ching-kuo. Tapi cucu Chiang Kai-shek sudah tidak mewarisi jabatan politik tertinggi lagi. Jadilah Taiwan negara non-dinasti. 

Chiang Ching-kuo tidak mau mewariskan jabatan presiden ke anaknya. Ia menunjuk Lee Teng-hui menjadi presiden pertama Taiwan yang lahir di Taiwan. Lee akhirnya menyatakan pemerintahan otoriter diakhiri. Ia maju dalam pemilihan presiden pertama secara langsung: menang. Lee Teng-hui, juga dari Koumintang, dikenang sejarah sebagai bapak demokrasi Taiwan. 

Barulah di zaman cicitnya ini ada keturunan Chiang Kai-shek yang masuk politik lagi. Tapi sudah bukan sebagai pewaris dinasti. Chiang Wan-an harus membawa namanya sendiri. Apalagi ia cucu dari jalur istri selir. Yang karena itu ayahnya dulu tidak mau pakai marga Chiang. Baru belakangan marga itu dipakai lagi.

Tanggal 1 Desember lusa Taiwan sudah menyatakan bebas masker untuk di luar ruang. Tentu kabar ini meluas juga sampai ke daratan Tiongkok. Itu semakin membuat rakyat Tiongkok geram: sampai kapan kebijaksanaan Zero Covid dipertahankan oleh penguasa daratan. Demo pun pecah di banyak kota, termasuk Shanghai. Tapi kebijakan Zero Covid tidak berubah.

Chiang Wan-an menjadi bintang baru di Taiwan. Tanpa ada kekhawatiran membangun dinasti baru. (*)

Komentar Pilihan Dahlan Iskan Edisi 29 November 2022: Alvin Ukraina

Pryadi Satriana

Bukan saja masuk dlm kelas/kelompok 'jurnalis blajaran', Dahlan jg masuk kategori 'jurnalis comberan', memuat hampir semua yg 'dinjeplakkan' narasumber tanpa ada cek & ricek. Asuransi itu bisnis kepercayaan. Data yg menyangkut asuransi mestinya harus minta konfirmasi dari pihak asuransi terkait supaya tidak merugikan pihak asuransi ybs., ndhak asal dimuat begitu saja. Mosok seorang "profesor" gitu aja ndhak ngerti. Apa memang sekadar 'profesor ghibah'? Gini kok ya pernah jadi menteri. Gak cocok jg jadi jurnalis. Jurnalis tidak sekadar mendasarkan pada "people's right to know" tapi juga pada dampak tulisannya. Mulai belajar utk memikirkan dampak dari tulisan Anda ya, Pak Dahlan. Salam. Rahayu.

Pryadi Satriana

Tulisan ttg Alvin terkait asuransi SUDAH memunculkan komentar bahwa kerugian yg diderita pihak asuransi krn 'dibobol' Alvin - yg belum tentu benar! - tidak seberapa dibandingkan kerugian nasabah yg 'sulit' memperoleh 'klaim asuransi'-nya. Sesuatu yg ndhak jelas - belum dikonfirmasi ke pihak2 terkait asuransi - sudah disebarluaskan ke publik. Dari 'ghibah' bisa menjurus ke 'fitnah'. Dahlan Iskan mesti lebih kritis dalam menyaring berita dan lebih hati2 dalam menuliskannya. Kalau nau menerima 'kek2-an' gelar profesor ya jg harus dijaga marwahnya, kalau ndhak mau ya 'buang aja gelar itu', drpd malah 'ngisin-isini'. Salam. Rahayu.

Pryadi Satriana

Tulisan Dahlan Iskan ini menyudutkan perusahaan asuransi, padahal asuransi banyak manfaatnya. Negara pun menyadari pentingnya asuransi. Amanat untuk mengasuransikan Barang Milik Negara tertuang dalam Pasal 45 PP No. 27 Tahun 2014. Adanya masalah dalam klaim yg diajukan nasabah thd perusahaan asuransi tertentu seharusnya tidak menafikan pentingnya asuransi. Jangan karena nila setitik, rusak susu sebelanga, apa pun susunya - atau susumu: ASS (Air Susu Sapi), ASI, atau pun ASU. Dahlan wis tuwa - wis 'bangkotan', ora usah 'ghibah', opo meneh dadi 'provokator'. Salam. Rahayu.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber:

Berita Terkait