Siti Jenar
--
”Karena kamu berasal dari tanah merah yang dipakai menambal perahu ini maka kamu saya beri nama Syekh Siti Jenar”.
Siti adalah tanah. Jenar adalah merah. Itu bahasa Jawa halus.
”Kamu saya beri tanah perdikan di dekat Demak. Dirikanlah pondok pesantren di sana,” ujar Sunan Bonang.
Saat itu Raden Patah lagi menjadi raja Demak. Pengaruh Raden Patah merosot karena rakyat berbondong menjadi pengikut Syekh Siti Jenar. Dari sinilah konflik besar terjadi.
Tokoh wayang yang memerankan Raden Patah adalah Romo Wijoyo, suami Dewi Shinta.
Untuk tokoh para Walisongo dan Syekh Siti Jenar dibikinkan wayang baru. Juga dari kulit. Dibuat oleh ahli wayang dari Yogyakarta. Sosoknya sempurna sekali. Saya suka dengan wayang Syekh Siti Jenar. Masih seperti wayang kulit biasa tapi menggambarkan profil kecendekiawanan Siti Jenar.
Tentu perdebatan antara Walisongo dan Siti Jenar akan sangat dalam bila penguasaan dalang akan ilmu di dua aliran itu sangat baik. Saya kurang puas di kualitas perdebatan antara sare’at dan tarekat dalam lakon ini. Tapi itu sepenuhnya di tangan dalang.
Saya berharap Ki Hardono lebih menarik lagi memainkan wayang hakikat ini. Terutama di kemampuan dialognya. Rasanya publik akan lebih tertarik.
Saya juga suka wayang versi baru lainnya: wayang santri. Yang diciptakan Ki Enthus Susmono. Ini lebih ke wayang golek Sunda. Yang setting-nya dibuat seperti ludruk Surabaya.
Tentu setelah Ki Enthus meninggal dunia nasib wayang santri akan ikut bersamanya. Sampai kelak lahir dalang sekelas Enthus yang sama hebatnya: bisa memainkan wayang kulit dan bisa memainkan wayang golek. Belum ada dalang seperti Enthus.
Nasib wayang versi satunya, wayang suket, juga hanya seumur penciptanya: Ki Slamet Gundono. Ia begitu kreatif. Begitu seni. Tapi juga begitu gendut dan akhirnya meninggal muda.
Ide wayang model Slamet Gundono ini yang sangat memungkinkan lahir kembali. Terutama dari tangan dalang-dalang muda yang punya pendidikan seni di fakultas seni.
Sedang masa depan wayang hakikat akan lebih ditentukan oleh kemampuan dalang dalam menjelaskan masalah spiritualitas dengan cara yang merakyat.
Begitu banyak jenis wayang dilahirkan. Sejauh ini masih tetap wayang purwo yang langgeng.
Di sini satu dalang mati masih bisa tumbuh banyak pengganti. (*)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: