Siapa Membunuh Putri (8) - Durian Lebat Sekebun Runtuh

Siapa Membunuh Putri (8) - Durian Lebat Sekebun Runtuh

Polisi menangkap seorang pria di Bogor yang diduga telah lakukan kasus perdagangan anak dengan modus membiayai ibu persalinan. -Disway-

Saya teringat tawaran Bang Jon. Saya membayangkan ketegangan seperti apa nanti yang akan terjadi antara dua koran kami itu. Siapa yang akan kelola ”Dinamika Kota”? Pasti orang-orang baru. Orang-orang hebat yang telah sukses di daerah lain dan dikumpulkan nanti di situ. Koran Metro di grup kami adalah koran nomor dua. Kelasnya beda dengan koran umum. Berhasil di koran metro, seperti yang sekarang kucapai, belum tentu bisa berhasil di koran umum. 

Pada hari rapat itu, Pak IDR, ini panggilan kami kalau menyebut CEO kami itu, seperti kode pada dalam berita yang ia tulis sejak reporter, dan saya kira itu diambil dari tiga huruf di nama keduanya itu, beliau bicara tentang peresmian Maestrochip Corp. Yang tak sampai seminggu lagi. Iklan-iklan ucapan selamat sudah diorder oleh berbagai pijak, asosiasi, pebisnis, pemerintahan, lebih dari ratusan halaman totalnya. Beberapa sudah terbit, iklan ucapan dari para pemasok dan penyedia berbagai jasa. Iklan lowongan kerja sudah sejak beberapa bulan sebelumnya, dan itulah yang bikin angka oplah kami meningkat tinggi. 

”Siapa namamu? Abdur, ya? Dur? Kamu punya baju batik yang bagus, nggak?” tiba-tiba Pak IDR menunjuk saya, bicara pada saya. 

”Saya, Pak?” saya kaget. Saya sejak awal sadar hadir dalam rapat itu hanya anak bawang yang tidak penting, timun bengkok yang tak masuk hitungan.

”Iya, kamu… Punya batik bagus, nggak?”

”Yang jelek aja nggak punya, Pak,” kata saya menjawab jujur, tapi bikin seluruh yang hadir dalam rapat itu tertawa. Saya sungguh tak bermaksud melucu. Apakah itu jawaban yang bodoh atau konyol? Sampai bikin semua orang tertawa?

”El, belikan dia batik yang paling bagus, dan paling mahal,” kata Pak IDR, memberi perintah pada Bang Eel. ”Nanti kamu pakai pas peresmian pabrik Maestrochip Corp. Saya diundang, saya mau ajak Abdur hadir.”

Saya memang tak punya baju batik. Kecuali dulu batik kodian seragam sekolah. Tapi mengingat batik mau tak mengingatkanku pada perempuan itu. Perempuan yang masih kuharapkan bisa kutemukan lagi, yang jadi semacam alasan tambahanku datang ke kota pulau ini. 

Secara jarak, dari kota pulau ini aku lebih dekat dengan dia. Kami bertemu di Malang. Ia datang bersama kelompok kerja sosial dari kampusnya di negeri seberang itu. Saya dapat pekerjaan sebagai pendamping. Honornya lumayan. Mereka dibagi dalam beberapa kelompok minat. 

Dia sudah merancang sebuah kerja terkait para pengrajin batik kecil di Jawa. Di kelompok itu hanya dia anggotanya. Maka selama berada di Malang, kami kemana-mana berdua saja, dengan motor yang kusewa khusus untuk pekerjaan itu. 

Saya menyimpan kenangan yang berbeda dari aroma kain mori dan bau malam lilin bahan pembatik itu. Aroma yang seperti diracik oleh parfumer dengan aroma tubuh dan rambutnya. Konon begitulah mekanisme jatuh cinta, sebuah peristiwa reaksi kimia yang dihasilkan satu hormon tertentu dalam tubuh manusia. Katanya pertukaran pengaruh hormon itu, proses saling mencari kecocokan, terjadi lewat aroma tubuh. Itulah yang katanya dinamakan jodoh. 

Saya setengah percaya. Setelah jatuh cinta karena aroma tubuh perempuan dari negeri seberang itu, tubuh saya seperti terkunci, tak lagi bisa menghasilkan hormon lain, disebabkan perempuan lain. 

Tidak Nenia, tidak juga Mila, yang kalau boleh besar kepala, tampaknya juga menaruh hati pada saya. Saya berusaha mencari alasan untuk juga membalas perhatian Mila, tapi saya tak bisa mendustai hati saya sendiri, saya memang tak mencintai dia. 

Dia, perempuan dari negeri seberang itu, tampaknya juga menyukai saya. Saya merasa begitu. Meskipun selama di Malang, kami menjaga hubungan sebatas pendamping kegiatan. Tawanya, pembicaraan kami di luar hal-hal pekerjaan, saat-saat kami makan tanpa pilih tempat di kampung-kampung di sekitar Malang yang kami kunjungi.

Nah, saya telah terbawa kenangan itu hanya karena mendengar kata batik. Separah itulah kenangan itu rupanya. Saya tak sadar rapat selesai dan terkejut lagi ketika dari belakangku Pak IDR berdiri menepuk-nepuk pundakku. ”Dur, kamu punya paspor, nggak? Kalau punya besok ikut menyeberang, ya…” katanya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: