Siapa Membunuh Putri (7) - Kunci Kamar Kos

Siapa Membunuh Putri (7) - Kunci Kamar Kos

Ilustrasi malam pertama di kos baru.-Maulana Albar Naafi/Harian Disway-

Oleh: Hasan Aspahani

TURUN dari ojek, dengan sekantong plastik penuh bungkusan mie lendir buat anak-anak panti, aku justru mendapati ketegangan di antara Bu Yani dan beberapa orang tamu yang tak pernah kulihat sebelumnya.

Seorang lelaki berjas (pagi-pagi gini di kota ini pakai jas?) sepertinya seorang pengacara yang menjaga diri dengan identitas formal, dan seorang perempuan dengan stelan merah, penampilan pebisnis. Aku berbasa-basi dengan senyum dan langsung masuk ke dalam rumah. Bu Yani berdiri lekas menyusulku.

”Itu pemilik rumah baru dan pengacaranya,” kata Bu Yani.

”Oh, jadi bukan anaknya Pak Doni lagi yang punya rumah ini? Uang sewa harus dibayar ke ibu itu?” tanyaku. Pak Doni pemilik rumah yang disewa Panti Asuhan Abulyatama, sudah lama tak lagi mengurus properti miliknya ini. Urusan sewa-menyewa diserahkan ke anaknya. Rupanya, rumah ini oleh anaknya dijadikan agunan untuk pinjaman untuk satu proyek. Dan karena satu dan lain hal yang salah, rumah ini jadi milik mitranya si perempuan stelan merah itu.

”Masalahnya dia tak mau menyewakannya lagi,” kata Bu Yani.

”Berapa hari kita dikasih waktu untuk pindah?” tanyaku.

”Mereka minta secepat mungkin,” kata Bu Yani.

Saya menemui dua tamu itu. Anak-anak panti sedang sekolah. Kecuali yang masuk siang. Aku minta waktu sebulan. Mereka bilang paling lama dalam seminggu rumah itu harus kosong. ”Saya harus ketemu dulu dengan anaknya Pak Doni, bahkan Pak Doninya sendiri. Bukannya kami tidak percaya, pada ibu..” kataku. Si pengacara memberi surat-surat perjanjian kerja sama investasi dan surat persetujuan penyitaan asset.

Saya kira kami memang tak bisa berargumen apa-apa, kami harus segera mengosongkan rumah itu. Kami toh hanya penyewa, Pak Doni dulu bahkan meminjamkan saja. Dia punya banyak aset rumah. Usaha kateringnya di kawasan industri Watukuning, maju pesat, melayani ribuan pelanggan. Ketika Pak Doni melepas seluruh aset termasuk urusan usaha, anaknnya memungut sewa, untungnya tak mahal. Kedua tamu itu berpamitan. Saya dan Bu Yani menyanggupi mengosongkan panti dalam seminggu, paling lambat.

Saya harus menemui Ustad Samsu. Minggu lalu saya sempat menemaninya mengambil surat persetujuan lahan untuk membangun pesantren di kota pulau ini. Ini akan jadi cabang ke sekian dari pesantren yang berpusat di Balikpapan, yang sempat menjadi rumahku saat tsanawiyah dulu. Untuk sementara, pesantren diselenggarakan di ruko di kawasan Watuaji. Mungkin, saya pikir, anak-anak panti bisa dititipkan di sana, bahkan bisa seterusnya bergabung dengan pesantren saja.

Baru saja sang tamu pergi, sebuah motor dari jauh melaju kencang, dengan deru mesin lantang, memecah udara kota. Berhenti mendadak di depan panti dan orang yang dibonceng tanpa turun dari motor melemparkan bom molotov ke arah panti. Tak hanya satu. Beberapa. Api lekas menjalar ke dalam rumah. Aku dan Bu Yani, dibantu warga sekitar dengan spontan mengeluarkan apa yang berharga dalam rumah. 

Saya terutama memikirkan barang-barang milik anak-anak panti. Bu Yani menyelamatkan semua barang penting, akta Yayasan, komputer, buku-buku. Saya bahkan lupa surat-surat berhargaku. Ijazahku, SK-ku yang baru, sertifikat dan lain-lain tak ada yang tersisa. Kecuali kartu-kartu penting di dalam dompet. Saya teringat judul buku Memoar Ajip Rosidi: hidup tanpa ijazah. Dalam arti yang sebenarnya.

Beberapa wartawan datang, Yon ada di antara mereka. Tak mungkin saya suruh Bu Yani untuk menjawab mereka. Aku mau tak mau temui mereka dan menjawab sekadarnya. Begini ya rasanya ditanya-tanya dengan pertanyaan tak bersimpati oleh wartawan di saat mengalami musibah. Saya tahu saya tak bertanya seperti itu. Saya banyak menjawab dengan ”tak tahu”, karena memang banyak hal yang saya tak tahu kenapa ada orang mau membakar panti kami. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: