Gus Muhaimin, Komunikasi Politik, dan Humor
Begitu pula dengan Srimulat, grup lawak legendaris tersebut banyak sekali menyuarakan banyolan-banyolan khas wong cilik. Secara spontan, Asmuni dan kawan-kawan kerap melontarkan joke-joke yang bernada "hil-hil yang mustahal" sebagai representasi dari masyarakat yang diwakilinya di panggung seni. Ringkasnya, saat itu seni komedi masih menjadi medium ampuh untuk menyuarakan protes sosial. Maka, tidak salah jika Miing Bagito pernah berkata, "komedi itu satu tingkat di atas serius."
Dalam panggung berbeda, Seno Gumira Ajidarma melalui buku, Antara Tawa dan Bahaya: Kartun dalam Politik Humor (2013) coba menggambarkan dinamika kartun humor di era tirani Orde Baru. Sebagaimana tergambar dalam judulnya, Seno ingin menjelaskan bahwa "tertawa" di era itu bisa mengundang bahaya. Sebab yang ditertawakan adalah kumpulan gambar-gambar (kartun) lucu yang bernada protes sosial terhadap pemerintah.
Dalam konteks ini pula, Gus Dur adalah contoh par excellent. Sebagai seorang tokoh, personfikasi Gus Dur tergolong komplet: ulama, politisi, negarawan (presiden), akademisi-intelektual cum aktivis, sekaligus humoris. Bukan hanya sukses menulis pengantar terjemahan buku legendaris Russia Dies Laughing atau Mati Ketawa Ala Rusia (1986), Gus Dur juga secara proporsional mengintegrasikan sisi humor dalam berbagai dimensi kehidupannya. Itulah kenapa sosok dan pemikiran Gus Dur banyak diterima semua kalangan dan terus lestari hingga sekarang.
Dalam beberapa hal, keahlian berkomunikasi secara jenaka dalam diri Gus Dur tersebut nampaknya diwarisi oleh salah satu keponakannya, Gus Muhaimin Iskandar. (*)
*) Mahasiswa Pascasarjana Media dan Komunikasi Universitas Airlangga
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: disway.id