Tingkat Kecemasan di Masa Pandemi Covid-19 Meningkat, LISA Kerap Menangani Orang yang Ingin Bunuh Diri

Tingkat Kecemasan di Masa Pandemi Covid-19 Meningkat, LISA Kerap Menangani Orang yang Ingin Bunuh Diri

Radartasik.com, Semua pihak harus mulai sadar dan peduli terhadap lingkungan di sekitarnya. Harus saling menjaga. Karena potensi terjadi aksi nekad bunuh diri sangat mungkin terjadi di lingkungan kita.


Di Bali ada salah satu contoh bagus dalam penanganan layanan dukungan psikologis secara gratis. Namanya Love Inside Suicide Awareness (LISA).
Layanan LISA tersedia 24 jam, termasuk dalam bahasa Inggris karena tak sedikit WNA di Bali yang juga alami gangguan kecemasan.

PUKUL 2 dini hari, ketika orang-orang terlelap, telepon LISA berdering. Begitu telepon diangkat, yang terdengar hanya isakan tangis. Dan, tak lama kemudian, kontak terputus.

LISA pun menelepon balik, mengagetkan orang yang menangis tadi. Dia kaget karena teleponnya yang ”tidak jelas” tak diabaikan begitu saja.

Kejadian semacam itu beberapa kali dialami Love Inside Suicide Awareness (LISA), sebuah layanan dukungan psikologis secara gratis. Sesuai dengan namanya, kasus yang paling umum ditangani adalah percobaan bunuh diri.
LISA Helpline —demikian nama resminya— diinisiatori pada Desember 2020.

Koordinatornya, I Dewa Ayu Dwika Puspita Dewi, mengamini bahwa layanan itu hadir akibat pandemi Covid-19. Pada masa-masa inilah, semakin banyak orang yang merasakan keputusasaan, yang kemudian berujung pada keinginan bunuh diri.

”Kebetulan, saya juga melakukan riset pada akhir 2020 dan hasilnya menunjukkan bahwa angka kecemasan memang meningkat,” ungkapnya beberapa waktu lalu.

Ide tersebut kemudian direalisasikan pada April 2021 di bawah program inisiasi lintas komunitas Bali Bersama Bisa. LISA pun menerima berbagai keluhan dan laporan terkait dengan percobaan bunuh diri. Baik melalui telepon, WhatsApp, maupun e-mail. Dari ratusan laporan itu, terlihatlah bahwa masalah percobaan bunuh diri ini bak gunung es.

Sosok yang akrab disapa Dwika tersebut menilai, percobaan bunuh diri di Indonesia sering kali masih dikaitkan dengan perkara religiusitas seseorang. 

Seolah-olah cuma karena lemahnya iman. Padahal, perasaan ingin bunuh diri bisa terjadi bahkan kepada orang yang taat beragama sekalipun. ”Masalah yang ada, terkadang kita tertutup dengan itu,” kata Dwika.

Ketika salah seorang anggota keluarga menunjukkan ciri-ciri atau sinyal ingin mengakhiri hidup, anggota lain berusaha membantah. Si penderita tak didengarkan dan dihiraukan, mengesankan bahwa perasaan depresi itu tak valid.

Karena itulah, kadang orang-orang memilih ”bercerita” kepada orang lain jika memiliki pikiran bunuh diri. Misalnya, kepada LISA. Prosesnya, LISA menerima laporan melalui berbagai kanal yang mereka punya.

Laporan diterima relawan LISA yang disebut support buddy. Kadang satu pelapor atau pengguna layanan tak hanya menghubungi sekali. Bisa berkali-kali, apalagi jika masalahnya berat.

Kemudian, pengguna layanan tersebut akan diarahkan ke psikolog atau psikiater. Bagi yang berada di wilayah Denpasar dan sekitarnya, ada 30 psikolog atau psikiater yang disediakan LISA. Sementara, pengguna layanan di luar Bali bakal diarahkan ke fasilitas kesehatan terdekat yang memiliki layanan psikologi.

Layanan LISA Helpline dibangun dengan tujuan menghadirkan layanan yang inklusif. Dalam arti, layanan itu bisa diakses kalangan difabel serta dengan kendala bahasa seminimal-minimalnya.

LISA mampu melayani laporan dalam bahasa Indonesia maupun bahasa Inggris. Sebab, tak sedikit warga negara asing (WNA) di Bali yang juga mengalami gangguan kecemasan dan memiliki niat bunuh diri.

Inklusivitas itu tak hanya diwujudkan dalam berbagai kanal laporan yang tersedia. LISA juga memberdayakan kawan-kawan difabel sebagai relawan support buddy. Mereka ingin menunjukkan bahwa kalangan difabel bukan hanya penerima manfaat, tetapi juga pemberi manfaat.

LISA melayani laporan 24 jam. Sebab, menurut psikiater LISA Helpline dr I Gusti Rai Wiguna SpKJ, keadaan krisis memang lebih sering terjadi lewat tengah malam. ”Terutama pukul 2—4 dini hari,” ungkapnya.

Keinginan bunuh diri, jelas Rai, umumnya didorong depresi yang terjadi saat penurunan kandungan serotonin di otak. Kandungan serotonin di otak manusia tercatat paling rendah pada jam-jam dini hari tersebut.

Dan, tak semua pengguna layanan yang menghubungi mampu bercerita langsung. Kadang ada yang hanya menangis. Tak jarang cuma diam. ”Dalam SOP (standard operating procedure) kami, ketika telepon sudah dimatikan, akan kami telepon balik,” ujar Rai.

Pada telepon kedua atau ketiga, barulah pelapor biasanya mau bercerita lebih lengkap tentang keinginannya untuk bunuh diri. Faktor penyebabnya beragam. Namun, yang paling banyak adalah masalah hubungan dengan keluarga, perundungan atau bullying, dan kekerasan seksual. Karena akibatnya bisa sangat fatal bagi penderita dan orang-orang terdekat, LISA pun berharap memperluas kerja sama dengan instansi pemerintah ke depannya.

Rai mengungkapkan, saat ini LISA Helpline berencana bekerja sama dengan Pemkab Badung untuk penyediaan layanan ambulans. Jadi, saat ada pelapor yang butuh segera ditangani, mereka bisa meminta tolong ambulans untuk datang ke rumah pelapor sebelum terjadi sesuatu yang tak diinginkan.
Layanan inklusif seperti itu sebenarnya sudah banyak tersedia di luar negeri, tetapi tidak dengan di sini. 

”Memang stigma bunuh diri itu halangan terbesar. Orang Indonesia, kalau ada anggota keluarga atau kenalan yang mengatakan ingin bunuh diri, pasti hal pertama kita bilang pamali,” jelas Rai.

Hal itu mungkin terlihat berhasil di awal. Namun, Rai menegaskan bahwa stigma-stigma tadi tak mengurungkan niat seseorang untuk bunuh diri. Melainkan niat untuk bicara. Keinginan bunuh dirinya tetap ada, bahkan mungkin akan semakin parah. 

”Kami tidak hanya mencegah bunuh diri, tapi juga membangun awareness (kesadaran) bahwa nggak apa-apa lho membicarakan hal itu,” tuturnya. (jp)


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: