Ko Waway bukan Tionghoa. Asli Sunda. Kelahiran 15 Juli 1956. Namanya Anwarsyah. Pensiunan ASN. Beliau pensiun dengan jabatan terakhir sebagai Camat Cipedes Kota Tasikmalaya.
Ke Ko Waway, saya lupa bertanya. Kenapa jadi lebih familier disapa begitu. Saya hanya bertanya bagaimana persahabatan beda etnis dan agama bisa terjalin erat. Juga lama. 50 tahun!
"Kami sama masuk sekolah di SMAN 1. Duduk sebangku di bagian belakang. Ya, sudah 50 tahun bersahabat," Ko Awun yang lahir 25 April 1956, menguatkan pernyataan Ko Waway, sang sahabat.
Sekilas mendengar cerita masa lalu persahabatan mereka, saya terkagum. Bagaimana era itu, kita semua tahu, etnis Tionghoa benar-benar termarjinalkan. Bahkan diperlakukan sangat buruk. Tidak saja oleh elit penguasa, tapi sampai level masyakarat bawah pun perlakuannya sama.
Ko Waway dan Ko Awun bercerita selepas SMA. Mereka 2 tahun nganggur. Mereka berdua tetap bersahabat. Main bersama khas remaja zaman itu. Momotoran. Tanpa helm sekalipun ke luar kota.
"Saya belajar motor. Pakai motor Ko Awun. Honda CB 25 warna merah. Kalau saya driver, gantian itu tidak turun. Masih melaju ganti posisi," kenang Ko Waway yang diiyakan Ko Awun.
Akhirnya, dua sahabat berpisah sementara. Ko Waway jadi pegawai negeri. Bertugas di Cianjur hingga Serang, Banten. Saat itu masih masuk wilayah Provinsi Jawa Barat. Ko Awun menekuninya bisnis. Sampai sukses sebagai owner pabrik plastik dengan branding Dollar.
Dua sahabat ini, sampai menikah, masih terus menjalin persahabatnnya. Malah tambah erat. "Saya nikah tahun 1982," kata Ko Waway, sambil menyebut nama istrinya, Lilis, yang sudah wafat dua tahun lalu. Ketika masa pandemi Covid-19.
"Saya nikah tahun 1988. Telat," timpal Ko Awun sambil tergelak.
Obrolan kami terhenti. Bunda Mimi Liong berteriak. Agar saya mengambil kaos Imlek Run warna merah dengan kerah kuning. Di bagian ujung kedua lengan kaos juga kuning. Bagian depan ada dua kancing di bawah kerah. Bagian kiri ada saku berlogo obal bertuliskan Tasikmalaya Hash House Harriers.
Bagian depan kaos tulisan Imlek Run waena putih dalam lingkaran. Ada ganbar kelinci dan enam buah bunga yang mekar. Kalau di belakang logo seperti di saku, plus tulisan Imlek Run warna putih memanjang dari kiri ke kanan. Memang bahannya yang biasa. Tapi momentumnya yang penting. Dimulainya lagi hash. "On on!" Teriakan itu terdengar lagi. Tanda run dimulai.
Minggu jam 09.15 semua sudah siap run. Usai foto bersama, puluhan anggota THHH berkaos merah, bertuliskan Imlek Run, masuk area obyek wisata Situ Gede. Berjalan menyusuri joging track Situ Gede. Lumayan juga jaraknya.
Saya, istri dan anak bungsu yang usia 5 tahun, menuntaskannya dalam 1.5 jam. Lelah, namun mengasyikan. Saya sendiri selama 19 tahun di Tasik, baru kali pertama menapaki joging track Situ Gede. Terlalu memang..hehehe.
Rutenya asyik. Berjalan mengelilingi tepian Situ Gede. Menghirup udara segar. Rutenya sudah seperti jalan setapak. Hanya tersisa paving blok di beberapa titik. Tapi bagi saya dan istri, benar-benar berkesan. Mengingatkan masa kecil. Bermain di jalan setapak. Pergi ke sekolah ambil jalan pintas melalui jalan setapak di kebun milik warga.
Paling surprise, tentu anak bungsu kami. Adzikru. Usia lima tahun. Peserta paling muda Imlek Run. Dia kuat jalan sejauh itu. Memang beberapa kali minta gendong. Tidak lama turun dari gendongan. Berjalan lagi. Dia enjoy dan tidak kapok.
"Nanti kita ke sini lagi ya," pinta bocah bontot kami, ketika rute Imlak Run kami selesaikan. Wow deh! (*)