RADARTASIK.COM - Lebih dari 6.000 pekerja tewas pada tahun 2021 selama pembangunan infrastruktur untuk Piala Dunia Qatar 2022.
The Guardian menerbitkan laporan pada Februari 2021 yang menyatakan bahwa pekerja dari negara-negara seperti India, Nepal, Bangladesh, Sri Lanka, dan Pakistan telah meninggal dunia sejak Qatar memenangkan hak untuk menjadi tuan rumah Piala Dunia pada 2010.
Bahkan The Guardian merinci bahwa tidak ada catatan kematian dari pekerja dari negara lain seperti Filipina dan Kenya, meskipun ada banyak pekerja dari negara-negara tersebut di negara Arab.
Amnesty International memperkirakan bahwa lebih dari 15.000 pekerja migran telah meninggal di negara itu antara 2010 dan 2019 karena pekerjaan konstruksi.
BACA JUGA:Polsek Rajapolah Bersama Warga Gotong Royong Bangun Tembok Rumah yang Roboh
Menurut statistik yang diungkapkan oleh badan tersebut, sebanyak 70 persen dari kasus penyebab kematian tidak diketahui karena otopsi dilarang di Qatar.
"Sertifikat kematian sering melaporkan kematian sebagai 'penyebab alami' atau 'serangan jantung'," kata studi tersebut, tanpa mengaitkannya dengan kondisi kerja.
Organisasi hak asasi manusia itu mengutip beberapa contoh pekerja muda tanpa masalah kesehatan yang menjadi korban karena kondisi kerja yang tidak manusiawi .
Pekerja migran yang berusia 30-an dan 40-an akan kehilangan kesadaran dan meninggal setelah bekerja selama 12 jam dalam panas terik lebih dari 40 derajat Celcius.
Dalam beberapa kasus, dilaporkan mereka dipaksa bekerja tujuh hari dalam seminggu.
Namun, FIFA dan panitia penyelenggara Piala Dunia dan pemerintah Qatar berusaha mengecilkan angka-angka tersebut.
Menurut FIFA, jumlah korban tewas resmi dari pengerjaan konstruksi untuk Piala Dunia Qatar 2022 hanya 37 pekerja.
Tetapi semakin mengerikan gambarannya setelah banyak detail yang terungkap, menunjukkan situasi dimana kelas pekerja tanpa hak dieksploitasi secara ekstrem.
"Sementara Qatar telah membuat kemajuan signifikan dalam hak-hak buruh selama lima tahun terakhir, sangat jelas bahwa masih ada jalan panjang yang harus ditempuh," kata Steve Cockburn, petugas keadilan ekonomi dan sosial Amnesty International.