Adegan pembukaan pergelaran malam itu: peristiwa di tahun 1424. Perang. Antara dua raja di Malaka. Dalang menampilkan perkelahian dua raja itu dengan menggunakan tokoh wayang Boma Natokosuro dan adiknya.
Akibat perang itu, ulama kerajaan di sana pilih pulang ke Cirebon. Bersama istrinya yang lagi hamil. Sampai di Cirebon mereka bergabung ke padepokan Gunung Jati. Sunan Gunung Jati adalah kakaknya. Di Gunung Jati itu sang suami meninggal. Bersamaan dengan itu istrinya melahirkan.
Si bayi tumbuh menjadi santri yang hebat di Gunung Jati. Tidak pernah tidur. Badannya lemah tapi pikirannya kuat. ”Kamu itu hebat tapi tubuhmu seperti cacing,” ujar Sunan Gunung Jati kepada remaja itu.
Jadilah sang remaja cacing sungguhan. Apa yang dilakukan Sunan?
”Cacing, kamu saya buang ke laut. Kalau kamu kuat tirakat di laut kamu akan bisa jadi manusia lagi,” ujar sang wali.
Di laut, Sunan Bonang lagi mengajarkan ilmu makrifat yang amat tinggi kepada Sunan Muria. Di atas perahu. Di tengah laut. Agar tidak ada orang lain yang ikut mendengar.
Perahu bocor. Air masuk ke perahu. Bahaya. Maka sang murid diminta masuk laut mengambil tanah liat untuk menambal perahu. Begitu perahu aman mulailah pengajaran ilmu spiritual tingkat tinggi itu disampaikan. Selesai. Tiba-tiba ada suara ”Terima kasih saya menjadi tahu ilmu makrifat”.
Sunan Bonang kaget: ada suara manusia tanpa terlihat sosoknya.
”Siapa kamu?”
”Saya cacing”.
”Berarti kamu itu cacing yang berasal dari manusia”.
Jadilah cacing itu manusia.
”Jadi, kamu mengerti semua yang saya ajarkan ke Sunan Muria tadi?”
”Mengerti”.
”Karena kamu berasal dari tanah merah yang dipakai menambal perahu ini maka kamu saya beri nama Syekh Siti Jenar”.
Siti adalah tanah. Jenar adalah merah. Itu bahasa Jawa halus.