Siapa Membunuh Putri (16) – Dipanggil
Ilustrasi polisi.-Pixabay-
”Laporkan, ya. Nanti saya telepon kapolseknya. Jangan sampai isunya jadi kemana-mana, apalagi dikaitkan dengan kasus yang lagi diberitakan heboh itu,” katanya. Saya menelepon kantor, meminta Hendra menemui agen kami dan membawanya ke polsek untuk bikin laporan.
Iptu Binsar kemudian bicara langsung terkait undangan yang dikirim ke Dinamika Kota. Kata saya tak perlu undangan resmi begitu kalau memang mau bertemu kami. Kami bisa datang kapan saja. Atau bertemu di mana saja.
”Betul. Ini urusannya sudah sampai ke Mabes Polri,” katanya. ”Situasi kamtibmas sedang memanas menjelang pemilu. Itu saja sebenarnya sudah menuntut kerja keras kita bersama. Persaingan antar pendukung caleg, antar pendukung cawako, antarormas, sekarang sudah luar biasa ruwetnya. Ditambah lagi kasus pembunuhan Putri ini, yang sepertinya semua pihak mau menunggangi untuk kepentingan masing-masing...”
Saya berdiam mendengarkan. Menebak-nebak ke mana arah pembicaraannya. Tak sulit sebagaimana juga tak sulit untuk memahami apa maunya. Yang saya tak paham adalah apa maksudnya ”… ini urusannya sudah sampai ke Mabes Polri”?
”Pak Binsar. Saya mau sampaikan, dan sebenarnya tak penting benar karena sudah jadi sikap kami dan jelas itu kami tunjukkan dalam pemberitaan kami, bahwa kami tak punya kepentingan apa-apa dalam pemberitaan kasus ini. Seperti kasus dan berita lain, bagi kami…”
”Oke, Mas Dur. Saya paham. Saya tahu posisi Mas Dur sebagai jurnalis dan saya hormati itu. Saya tidak secara khusus mau bicara soal kasus pembunuhan itu. Begitu juga kalau nanti ketemu sama Pak Kapolresta…” kata Iptu Binsar.
Yang dicemaskan oleh Kapolresta, kata Iptu Binsar, soal potensi pecahnya kerusuhan. Di Kota Bortam ini sudah terjadi beberapa kali kerusuhan besar. Penyebabnya kadang hanya persoalan sepele. Perkelahian preman, lalu kelompoknya terbawa-bawa. Perkembangan kasus pembunuhan Putri, hingga sidang hari pertama, seakan-akan hendak mengulang terjadi kerusuhan yang jauh lebih besar.
”Kami benar-benar tak menyangka bakal jadi seperti itu,” kata Iptu Binsar. ”Itu yang diresahkan Pak Kaporesta, Mas Dur. Apa yang bisa kita lakukan untuk mengurangi kemungkinan pecahnya kerusuhan itu?”
”Saya tak bisa kasih saran polisi harus melakukan apa, Bapak tentu lebih tahu. Tapi kalau terkait pekerjaan kami, pers, yang kami yakini sederhana saja, Pak, publik kita itu kritis, maka tunjukkan pada publik bahwa kasus ini diproses dengan adil. Kami akan sampaikan itu apa adanya. Sejak awal, publik curiga ada yang tidak beres. Putri hilang berhari-hari, baru kemudian dilaporkan, anak dan pembantunya ditemukan di hotel, itu juga tak jelas kenapa, lalu penetapan tersangka yang juga seakan-akan tidak dengan bukti yang cukup dan motifnya pun lemah. Maaf, Pak, bukan mau mengajari Bapak, semua ketidakjelasan itu kami naikkan dalam berita kami,” papar saya.
Saya tak terlalu menyimak lagi apa yang disampaikan Iptu Binsar. Dua hal yang ku ingat ku bawa sebagai pertanyaan besar: Pertama, urusannya sudah sampai ke Mabes Polri; Kedua, kami benar-benar tak menyangka bakal jadi seperti itu. Dalam hati saya bertanya kritis, lalu apa yang diharapkan polisi akan terjadi dengan semua proses yang mereka lakukan terkait kasus ini?
Di kantor, saya menyampaikan kepada Bang Eel, apa yang disampaikan Ipti Binsar dan apa yang kami bicarakan di pertemuan itu. ”Menurutmu kita harus datang atau tidak?” tanya Bang Eel.
”Menurut saya tak usah, Bang. Surat itu sepertinya hanya untuk bukti administrasi bahwa mereka pernah meminta kita datang. Apa yang dibicarakan saya kira tak penting buat kita,” kata saya.
”Gitu? Yakin?”
”Ya, Bang. Kalau memang perlu, bisa ketemu di luar, atau mereka datang ke kantor kita.”
Kami menyepakati sikap dan keputusan itu. Tidak perlu datang. Yang saya tidak tahu adalah, diam-diam Bang Eel datang juga menemui Kapolresta. Saya kemudian mengetahui itu dari Bang Jon. Saya kerap singgah di kantornya yang nyaman.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: