Siapa Membunuh Putri (9) - Si Sopir Presiden
Ilustrasi seorang pria hanya bersarung nekat melakukan tindakan tak senonoh di depan para siswi SMP di Pasar Minggu. Identitas pelaku kini tengah diburu polisi.--
”Wah, di sini aja, Pak. Nggak betah,” kata saya. ”Pak, sudah baca berita hari ini. Istri polisi yang hilang itu, Pak. Bapak kenal kan?” tanyaku.
Pak Roni mengelilingkan pandang. Seperti berhati-hati. ”Itu perwira masih terbilang baru. Dia di dirkrimsuskan? Yang kemarin nangani kasus korupsi Kabag Keuangan Pemkot itu kan? Dia agak lurus kelihatannya, tapi pasti tak bersih juga saya kira. Saya tahu nama saja. Tapi saya kenal mertuanya. Pernah jadi kapolres di Palembang. Saya dengar-dengar dari teman-teman yang masih aktif, istrinya gayanya sosialita gitu, dominan, lebih berkuasalah. Kalah pamornya, karena karir si perwira itu bagus karena mertuanya. Katanya, begitu. Kenapa?”
”Kenapa dia baru lapor kehilangan istrinya setelah tiga hari, Pak?”
”Kamu lebih tahu.”
”Apa istrinya masih hidup?”
”Kamu lebih tahu.”
”Kalau sudah mati, siapa yang membunuh?”
”Aku tunggu berita di koranmu aja,” kata Pak Roni.
Pak Roni berhati-hati bicara. Pasti dia tahu sesuatu.
Seseorang dengan tanda nama panitia mendekati kami. Lalu dengan ramah memanggil nama saya. ”Pak Abdur, bisa ikut saya. Dipanggil ke ruangan VIP oleh Pak Risman. Pak Eel dan Pak Indrayana ada di sana, Pak.” Aku tinggalkan Pak Roni yang juga harus segera beranjak dari situ, dia kali ini menjadi sopir pak menteri.
Di ruangan VIP itu hanya ada Bang Ameng dan Bang Eel. Bang Ameng kasih satu goody bag dan map berisi data rilis berita. Kami berbincang sebentar, basa-basi penghangat, sekadar pelepas kekakuan. Dia minta tunggu sebentar karena Mr. Stephen Gwan, bos Maestrochip yang baru diresmikan itu hendak berkenalan dengan saya. Saya tak tahu apa perlunya. Toh dia sudah bertemu dengan Pak IDR dean Bang Eel.
Tak lama dia muncul, bilang terima kasih. Saya ucapkan selamat. Lalu melanjutkan basa-basi sampai ia keluar dari ruang VIP. Bang Ameng memberi isyarat pada Bang Eel agar membiarkan kami berdua.
”Ini pabrik nyaris saja gagal. Nyaris pindah ke Vietnam. Kalau terjadi, kita kehilangan investasi besar. Kita kehilangan lowongan kerja sepuluh ribu operator,” kata Bang Ameng.
”Wah, untunglah, Pak,” kata saya datar. Tak bisa saya lekas mencerna dan menentukan sikap. Apakah keadilan hukum baru satu orang pantas dikorbankan untuk pekerjaan bagi sepuluh ribu orang?
”Meskipun saya harus pasang badan, Dur,” kata Bang Ameng dengan sedikit berhati-hati. Saya tak paham. Diam saya kala itu adalah diam yang menuntut penjelasan.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: