Siapa Membunuh Putri (7) - Kunci Kamar Kos
Ilustrasi malam pertama di kos baru.-Maulana Albar Naafi/Harian Disway-
”Malam ini tidur di mana, Dur,” tanya Bang Eel.
”Di tempatku. Iya kan, Mas Dur?” kata Nenia, seperti menggoda, tapi dengan kewajaran yang terukur, tak sampai terdengar jadi genit dan murahan. Ia menggoda Bang Eel, bukan aku.
Bang Eel berpaling ke arahku. ”Betul, Dur?”
Saya tertawa. ”Ya, nggak lah, Bang… Saya aja nggak tahu rumah Nenia di mana.” Nenia juga tertawa makin lepas. Seakan mau bilang: nah, kena, dia!
Kata Bang Eel, ”sementara di tempatku aja, ya.” Aku tak ada pilihan, menjawab dengan terserah saja.
”Nenia tinggal di mana?” kata Bang Eel pada Neni. Ia menyebut satu kompleks perumahan di Watuampar. Tak terlalu jauh dari kawasan kantor Metro Kriminal. Saya tak banyak terlibat dalam urusan perempuan, hingga melewati tiga perempat usia dua puluhanku ini. Tapi saya tahu itu bisa jadi urusan yang rumit.
Bila selama ini aku berat meninggalkan panti, tinggal di kos-kosan saja, seperti disarankan Bang Eel, karena tak enak meninggalkan anak-anak itu, maka setelah anak-anak ditampung di pesantren Ustad Samsu, aku mau tak mau cari tempat kos juga. Bagiku yang penting ada tempat untuk berbaring. Mungkin untuk sementara aku terima tawaran Bang Eel.
Aku punya waktu beberapa jam mengatur anak-anak di Pesantren Alhidayah, cabang baru yang sedang dirintis Ustad Samsu. Urusan pindah sekolah yang rumit, tak akan selesai dalam satu hari itu, tapi Bu Yani akan meneruskan. Nenia pamit ada urusan sebentar katanya, lalu pulang lagi menjemputku dengan satu kunci kamar kos. ”Ini kunci dari Bang Jon. Kamu pakai aja saja. Nanti sama saya ke sananya,” kata Nenia. Dia sebut alamat satu kompleks ruko di kawasan dagang dan nomor kamar.
Saya kira Bang Jon sudah terlalu jauh. Saya harus menjawab tawarannya lekas-lekas, saya menolak untuk membantunya di koran baru itu. Bersama Nenia saya menemui Bang Jon. Ia katakan, bantuannya tak ada kaitan dengan tawarannya. Ia paham apabila aku tak bisa membantunya. Ia mungkin ingin terus menjaga hubungan baik denganku, apakah karena dia merasa bisa memanfaatkan saya untuk rencana-rencananya yang lain? Ah, saya berprangka baik saja. Orang yang pernah kupandang sebagai semacam monster karena sosoknya sebagai wartawan yang lebih polisi daripada polisi.
Ia sedang memperlihatkan sisi lain dari dirinya, sisi yang ramah. Saya toh harus membangun jejaring yang lebih luas di kota ini, semakin luas, akan semakin baik. Bang Jon adalah simpul penting, pintu masuk yang akan membuka jalan ke mana-mana. Jalan apa saja, termasuk yang jalan ke tempat yang panas dan kawasan remang. Tapi itulah kota ini lengkap dan hidup dengan seluruh bagiannya yang kontradiktif ini.
Saya ternyata tak bisa tak masuk. Malah bingung karena tak tahu harus mengerjakan apa. Setelah beres semua urusan, saya masuk kantor.
Mila bertanya macam-macam dengan cemas. Dia selalu penuh perhatian seperti itu kepada siapa saja. Dia beri tahu ada telepon dari Risman Patron, beberapa orang lain. ”Pak Risman minta kalau Mas Dur sampai kantor segera telepon balik, Mas. Pak Sirait juga, telepon. Saya tak tahu, siapa dia, dia bilang kasih tahu aja bekas sopir Pak Habibie, ” kata Mila. ”Saya teleponkan, ya?”
Saya tertawa dengan cara Pak Sirait, Roni Sirait, menjelaskan identitasnya. Bekas sopir Pak Habibie. Itu branding yang kuat sekali, kalau dalam marketing. Di kota ini, hanya dia yang bisa memakai kalimat itu. Saya harus segera menemuinya. Lekas sekali berita menyebar, dia pasti ingin tahu kabar kebakaran panti itu.
Aku bicara sebentar dengan Bang Ameng lewat telepon. Ia terdengar tulus. Mengajukan banyak tawaran, termasuk ambil rumah di perumahan yang sedang ia bangun. Tak usah pakai uang muka, katanya, cicil aja semampunya. Belum tentu saya menerimanya tapi rasanya kebaikan-kebaikan seperti itu membesarkan hati, apalagi di saat tertimpa musibah begini.
Berita-berita reporter yang akan naik di halaman depan sudah kuedit semua. Terlalu capek rasanya kalau harus mengawal lay-out sampai selesai. Kami punya desainer dan lay-outer jago sekarang. Saya cocok dengannya dan suka hasil kerjanya. Dodo bisa diajak gila-gilaan. Idenya banyak, ia bisa tertib, bisa liar. Saya beri ia beberapa ide untuk dieksekusi untuk edisi esok.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: