Sampai Kapan Kita Pakai Masker? Epidemiolog Paparkan Analisis Medisnya

Sampai Kapan Kita Pakai Masker? Epidemiolog Paparkan Analisis Medisnya

Radartasik.com, Varian baru Covid-19 diprediksi akan tetap muncul, namun jika vaksinasi ditambah booster sudah berjalan baik, maka imunitas masyarakat terjaga, sehingga efeknya akan ringan.


Our World in Data menjabarkan data cakupan vaksinasi populasi dunia. Berdasarkan data tersebut, dosis I baru 63,7 persen. Dosis II atau lengkap baru 56 persen dan booster baru 18 persen. 

Dengan data vaksinasi tersebut, artinya masih jauh untuk memastikan seluruh populasi di dunia aman dari penularan Covid-19.

Epidemiolog dari Griffith University Australia Dicky Budiman memprediksi varian Omicron bukan varian terakhir. Omicron juga bukan gelombang terakhir. 

Kabar baiknya, kata dia, varian apapun nantinya akan lebih ke arah daya tular yang lebih ringan.

Omicron juga bukan varian terakhir. Tapi, secara prediksi, dampak ke depan sudah lebih minimal,” ujar Dicky Budiman, Rabu (2/3/2022).

“Karena apa? Karena cakupan vaksinasi terus meningkat. Jadi potensi varian baru semakin kecil. Tapi bukan berarti tak akan serius. Varian berikut akan menyasar daerah perifer yang masih rawan, yang cakupan vaksinasinya masih buruk. Dan tentu akan berdampak pada kematian dan kesakitan,” jelas Dicky Budiman.

Bicara Indonesia, kata Dicky, masih banyak penduduk yang berada di pulau-pulau terpencil di mana cakupan vaksinasi mungkin belum tersentuh hingga 70 persen. 

Ketika ditanya kapan pandemi berakhir? Dicky menegaskan pandemi belum berakhir selama tren kasus di dunia masih melaporkan kasus yang tinggi. Dan populasi harus mematuhi protokol kesehatan salah satunya memakai masker.

“Bicara pengendalian ini, setidaknya sampai pertengahan tahun ini atau akhir tahun depan kita tetap prokes memakai masker (sampai cakupan vaksinasi lengkap di dunia melebihi 70 persen),” ungkap Dicky Budiman.

Menurutnya kasus Covid-19 tak akan ditemukan jika tak aktif dalam menemukan kasusnya. Ia menegaskan deteksi atau testing harus dilakukan lebih kuat.

“Sehingga ketika terdeteksi khususnya luar Jawa, kita akan alami potensi beban di faskes, atau keparahan di rumah-rumah dan kematian. Kalau tak cepat dimitigasi dengan kunjungan rumah, active case finding, bantu mereka yang berisiko apalagi vaksinasi 2-3 dosis tak diakselerasi, kelompok rentan akan terancam,” tutupnya.



Pemerintah Tidak Akan Tergesa-Gesa Cabut Status Pandemi



Meski beberapa indikator pengendalian Covid-19 menunjukkan perbaikan, namun pemerintah tidak akan tergesa-gesa memutuskan status pandemi menjadi endemi. 

Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden Abraham Wirotomo menegaskan, seluruh keputusan apapun didasarkan pada data science dan kalkulasi yang matang.

“Mengenai perubahan status pandemi menjadi endemi, bapak Presiden (Joko Widodo, Red) menekankan kita tidak perlu tergesa-gesa dan memperhatikan aspek kehati-hatian. Presiden tidak mau kita sampai kembali ke situasi pada awal pandemi,” kata Abraham, Rabu (2/3/2022).

Abraham mengatakan, pemerintah selalu memonitor dengan detail perkembangan Covid-19 di Indonesia maupun di negara lain. Selain itu, pemerintah juga melibatkan para pakar dalam mengambil setiap kebijakan terutama dalam penentuan status pandemi.

“Jika memang data-data ilmiah dan analisa pakar menunjukan kondisi terus membaik, maka relaksasi juga akan semakin dibuka,” tuturnya.

Sebagai informasi, data Kementerian Kesehatan (Kemenkes) menyebutkan, jumlah kasus Covid-19 pasien rawat inap terus menurun dari hari ke hari.

Tercatat pada Selasa (1/3/2022), total bed occupancy rate (BOR) Covid-19 secara nasional turun menjadi 34 persen dari hari sebelumnya, yakni 35 persen. 

Begitu pula dengan kasus konfirmasi harian yang kembali turun menjadi 24.728 kasus. (jp)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: