Penerapan Gas Murah Terbukti Dongkrak Utilisasi
Reporter:
syindi|
Senin 28-06-2021,18:30 WIB
RADARTASIK.COM, JAKARTA — Pemerintah telah memberlakukan harga gas untuk industri sebesar USD6 per MMBTU sesuai dengan implementasi Peraturan Presiden Nomor 40 Tahun 2016 tentang Penetapan Harga Gas Bumi. Kebijakan strategis ini diklaim mampu mendongkrak utilisasi dan daya saing sektor industri manufaktur di tanah air sehingga akan memberikan kontribusi signifikan terhadap upaya pemulihan ekonomi nasional.
Adapun, regulasi turunan dari PP 40/2016 tersebut, yakni Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 18 Tahun 2020 tentang Rekomendasi Pengguna Gas Bumi Tertentu serta Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 8 Tahun 2020 tentang Tata Cara Penetapan Pengguna dan Harga Gas Bumi Tertentu di Bidang Industri.
“Sektor industri yang mendapatkan harga gas bumi tertentu (USD6 per MMBTU) itu sebanyak tujuh sektor, yaitu industri pupuk, petrokimia, oleokimia, baja, keramik, kaca, dan sarung tangan karet,” kata Direktur Jenderal Industri Kimia, Farmasi, dan Tekstil (IKFT) Kementerian Perindustrian, Muhammad Khayam di Jakarta, Minggu (27/6/2021).
Dirjen IKFT mengemukakan, adanya pandemi Covid-19 membawa dampak terhadap melambatnya pertumbuhan ekonomi dan sejumlah sektor industri. Namun, dengan pemberian insentif, seperti harga gas USD6 per MMBTU dapat membangkitkan kembali gairah usaha bagi pelaku industri.
“Contohnya di industri keramik. Sepanjang tahun 2020, utilisasi industri keramik secara akumulatif mencapai 56 persen. Walaupun utilisasi sempat turun menjadi 30 persen pada kuartal II akibat pandemi Covid-19, namun mampu beranjak naik hingga mencapai 60 persen di kuartal III, dan dapat kembali mencapai kondisi normal 70 persen di kuartal IV 2020,” ungkap Khayam
Selain itu, penurunan harga gas untuk industri keramik juga berdampak pada peningkatan volume ekspor secara signifikan. Merujuk data Asosiasi Aneka Keramik Indonesia (Asaki), sepanjang Januari-September 2020, pengapalan produk keramik nasional mencapai USD49,8 juta atau meningkat 24 persen, dan secara volume menembus angka 12,8 juta meter kubik atau melonjak 29 persen.
Dirjen IKFT menambahkan, pemberlakuan harga gas USD6/MMBTU merupakan upaya negara untuk melindungi industri dalam negeri. “Karena beberapa negara pesaing kita memberikan harga yang jauh lebih rendah, contohnya India,” jelas Khayam.
Sementara, diketahui struktur biaya produksi komponen gas dalam industri cukup besar. Sebagai contoh, 26 persen hingga 30 persen di industri keramik. Sehingga, penurunan harga gas tersebut menambah kekuatan daya saing industri dalam negeri karena harga produknya menjadi lebih kompetitif, terlebih dengan kualitas dan desain yang sudah dikenal lebih baik.
Menurutnya, informasi bahwa industri keramik nasional belum cukup mampu memenuhi volume kebutuhan dalam negeri tidak benar. “Utilisasi produksi industri keramik yang meningkat hingga 78 persen telah menunjukkan bahwa industri keramik kita secara volume atau kuantitas mampu untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri,” pungkas Dirjen IKFT.
“Kinerja ekspor selama sembilan bulan di tahun itu merupakan yang tertinggi sejak tahun 2016,” kata Ketua Umum Asaki, Edy Suyanto, dalam kesempatan yang sama.
Peningkatan nilai ekspor tersebut, menurutnya, karena membaik dan meningkatnya daya saing industri keramik dengan salah satu upayanya adalah pemberlakuan harga gas industri sebesar USD6 per MMBTU.
Adapun lima negara tujuan ekspor utama untuk produk keramik nasional, yaitu ke Filipina, Malaysia, Taiwan, Thailand dan Amerika Serikat. “Lonjakan ekspor terjadi dengan tujuan negara Amerika Serikat mencapai 130 persen, Filpina sekitar 60 persen dan Taiwan 40 persen,” sebut Edy. Peningkatan ekspor di luar lima negara tujuan utama tersebut, juga terjadi di Australia dengan mencapai 50 persen.
Munculnya wacana pengkajian ulang pada kebijakan harga gas sebesar USD 6 per MMBTU dari beberapa pihak membuat sejumlah industri keramik dalam negeri mengaku geram. “Saat ini berhembus isu review ulang stimulus harga gas dengan menaikan harga gas dari segelintir pihak,” ungkap Edy.
Dijelaskan Edy, wacana menaikan harga gas justru membuat utilisasi produksi industri keramik yang saat ini sudah menyentuh angka 75 persen, akan semakin merosot. “Tak hanya itu, pengurangan karyawan pun akan terjadi seandainya harga gas kembali naik,” imbuhnya.
Edy menambahkan, rencana menaikan kembali harga gas juga dapat merusak upaya pemerintah dalam melakukan penguatan dan peningkatan daya saing industri nasional, serta secara otomatis akan membuka ruang yang lebih besar bagi produk impor masuk ke pasar dalam negeri. “Ujungnya, industri lokal hanya jadi penonton dan berubah menjadi trader. Ini yang harus diantisipasi,” tegasnya.
(git/fin)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: