Senja di Ujung Kuas Mak Iyah, ketika Payung Geulis Kota Tasikmalaya Kehilangan Panggungnya

Senja di Ujung Kuas Mak Iyah, ketika Payung Geulis Kota Tasikmalaya Kehilangan Panggungnya

Mak Iyah melukis Payung Geulis khas Kota Tasikmalaya dengan koas yang ia buat dari rambutnya sendiri. ayu sabrina / radar tasikmalaya--

BACA JUGA:HUT ke-24 Kota Tasikmalaya, Wamendagri Tekankan Pentingnya Keterbukaan dan Akuntabilitas

“Biasanya pas hari jadi kota, kami kebanjiran pesanan. Sekarang mah sepi, paling hanya beberapa yang pesan lewat kenalan,” ujar Sandi Mulyana, pemilik Payung Geulis Karya Utama, yang selama ini menjadi tempat Mak Iyah berkarya.

Menurut Sandi, sepinya pesanan bukan sekadar soal ekonomi. 

Ia menilai, ada jarak yang makin jauh antara pelaku seni tradisi dan pemerintah daerah. 

“Payung geulis itu simbol, tapi sekarang lebih sering jadi pajangan, bukan kebanggaan,” ujarnya getir.

BACA JUGA:Liverpool vs Manchester United: Ini Jadwal Lengkap Liga Inggris Pekan ke-8

Meski begitu, ia dan para pengrajin tetap berusaha bertahan. 

Beberapa tahun lalu, Sandi mencoba berkolaborasi dengan mahasiswa seni dari ITB untuk menciptakan desain modern. 

Tapi tanpa promosi dan pelatihan digital, hasilnya sulit menembus pasar.

“Sekarang semuanya online. Kalau pengrajin enggak dibimbing, ya tenggelam. Padahal banyak yang punya potensi luar biasa,” ucapnya.

BACA JUGA:Update Terbaru Daftar 28 Negara Lolos Piala Dunia 2026: Ada 3 Debutan Baru dari Asia dan Afrika!

Ironisnya, di kota yang menjadikan payung geulis sebagai ikon wisata dan simbol budaya, justru antusiasme warganya kian menurun. 

“Kalau di Bandung, payung geulis malah masuk kurikulum sekolah. Di sini, nyaris enggak ada anak muda yang mau belajar,” kata Sandi.

Kini, produksi menurun drastis, hanya sekitar 500 unit per bulan, jauh dari masa kejayaannya. 

Harga satu payung berkisar Rp50 ribu hingga Rp1 juta, tergantung ukuran dan tingkat kesulitan. Tapi tak banyak yang laku.

Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News

Sumber:

Berita Terkait