“Begini Paduka Raja, buatkan saja jarum besar yang lubangnya sebesar unta juga. Pasti unta bisa masuk ke lubang jarum itu. Gampang kan?” Abu Nawas balik bertanya.
Baginda Raja marah. Merasa dipermainkan. Para menteri juga kaget dengan jawaban Abu Nawas. Mereka sudah yakin kali ini Abu Nawas celaka dan akan dihukum Baginda Raja.
“Kamu berkelakar keterlaluan Abu Nawas. Kamu bohongi seluruh rakyat kerajaan, termasuk kepadaku Baginda Rajamu!” teriak Baginda Raja sewot.
Abu Nawas melihat reaksi Baginda Raja malah tertawa.
‘Saya tidak bohong Baginda Raja. Benar kok kalau dibuatkan jarum besar dengan lubang sebesar unta dewasa, maka seekor unta bisa masuk ke lubang itu,” jelas Abu Nawas santai.
“Ini tidak lucu Abu Nawas!” bentak Baginda Raja merasa dipermainkan.
“Tenang dulu Baginda Raja. Tolong dengarkan penjelasan hamba. Apa yang hamba katakan adalah sebuah kalimat yang mengandung hikmah saja.”
“Hikmah apa?” potong Baginda Raja.
“Begini. Artinya atau hikmahnya itu bahwa masalah itu tidak ada yang sulit. Semua ada jalan keluarnya. Unta yang besar bukan masalah dimasukan ke lubang jarum. Tentu jangan focus dengan jarum yang umumnya ada ukuran kecil. Buatlah jarum yang lubangnya bisa muat kalau unta dimasukan,” tutur Abunawas.
“Filosofinya hidup itu pasti menemui masalah. Ibarat unta itu masalah, maka pikiran dan hati kita adalah jarum dan lubangnya. Kalau mau masalah ada solusi jangan sempitkan pikiran dan hati. Agar masalah sebesar unta jadi kecil dan ringan,” papar Abu Nawas.
Raja terdiam agak lama. Memikirkan apa yang Abu Nawas katakan.
“Hahahaha…kamu memang cerdas Abu Nawas. Ya,ya,ya. Saya sekarang paham. Hahahah terima kasih sahabatku Abu Nawas,” Baginda Raja tiba-tiba berubah jadi sumringah.
Tawanya kembali terbahak-bahak.
Baginda pun minta para pembantunya menyiapkan makanan lezat.
Baginda Raja ingin menjamu dan makan bersama Abu Nawas.
Para menteri dan penasehat kerajaan masih bingung. Mereka berbisik ke Abu Nawas minta dijelaskan.