Di Kawi lah pertunjukan wayang terbanyak se Indonesia. Saking banyaknya, satu malam bisa ada dua pertunjukan.
Di gedung itu sudah tersedia gamelan, pakeliran berikut penabuhnnya. Dalangnya bisa dibawa dari luar tapi lebih banyak menggunakan dalang domestik.
Setelah masjid Agung itulah, juga di kanan jalan, kelenteng Dewi Kwan Im berada.
Baik masjid maupun kelenteng yang membiayai pembangunannya sama: Liem Sioe Liong.
Di seberang kelenteng itu, kata di kiri jalan ada bangunan sanggar pemujaan. Kelihatannya untuk aliran Kejawen.
Tentu saya juga masuk ke kelenteng Kwan Im. Meletakkan bunga di depan sang Dewi. Saya ikut saja apa yang dilakukan Suhu. Lalu pindah ke ruang ciamsi di sebelah Kwan Im. Untuk kali pertama saya melakukan ciamsi: melempar dua keping benda ke atas. Setelah keduanya jatuh ke lantai baru diketahui apakah saya boleh melakukan aktivitas berikutnya: mengocok ciamsi. Sampai salah satu benda mirip chop steak itu ada yang jatuh ke lantai. Ada nomor di benda itu: nomor saya 29. Saya harus bertanya apakah saya boleh menggunakan nomor itu. Caranya bertanya: saya harus menjatuhkan benda dua keping tadi. Kalau dua-duanya tengkurap di lantai berarti saya tidak boleh menggunakan nomor 29 itu.
Saya harus mengocok ciamsi lagi. Kali ini yang jatuh nomor 22. Masih belum diizinkan. Saya kocok lagi: yang keluar nomor 19. Saya minta izin lagi. Benda dua keping yang saya lembar itu menghadap ke langit: berarti saya diizinkan menggunakan nomor 19 itu.
Maka petugas jaga memberi saya selembar kertas bernomor 19. Di situ ada uraiannya: apa arti nomor 19 bagi saya. Anda sudah tahu: saya tidak percaya isi tulisan itu. Tapi aneh, isinya persis seperti prinsip hidup saya.
Dari kelenteng kami menanjak lagi. Memasuki gerbang makam. Lalu menanjak lagi sampai bangun cungkup makam yang besarnya sekitar 8 x 8 meter. Makam lagi tutup. Makam ini memang tutup antara pukul 12.00 sampai 14.00. Lalu tutup lagi antara pukul 16.00 sampai 19.00. Malam hari ditutup antara pukul 22.00 sampai pukul 08.00. Itu adalah waktu-waktu umat Islam menjalankan salah duhur dan magrib.
Saya menuju samping makam itu. Ada masjid yang cukup untuk 200 orang. Terlihat banyak orang di dalam masjid: lagi tahlilan. Saya ikut tahlil bersama mereka. Mereka rombongan 60 orang. Satu bus besar. Semua warga NU. Mereka lagi tur ziarah: Makam Bung Karno, Makam Gunung Kawi, dan masjid 1000 pintu di Turen.
Tentu saya ingin ketemu pewaris juru kunci makam itu. Rumahnya di kiri jalan sebelum gerbang makam. Yakni rumah beton seperti rumah orang berada di kota.
Di ruang tamunya saya lihat ada simbol kerajaan Ngayogyokarto Hadiningrat. Lalu ada foto-foto tua.
"Benarkah itu simbol Keraton Yogyakarta?" tanya saya sambil menunjuk ke arah logo tersebut.
"Benar," jawab Yana. "Kami berasal dari Yogyakarta," ujarnya.
"Itu foto siapa?" tanya saya sambil menuju foto orang tua di dinding.
"Buyutnya ayah saya," katanya. "Beliau meninggal tahun 1871," tambahnya.