Jenny merayu sang suami untuk mau pindah ke Indonesia. Mau. Sang suami punya minat dalam bidang pendidikan. Ia memang dari keluarga terdidik. Ayah sang suami seorang jenderal di sana, waktu itu.
Sebelum pulang ke Jakarta mereka merundingkan apa yang akan dilakukan di Indonesia. Sang suami ingin membawa teknologi pendidikan yang sudah ditemukan di Tiongkok. Yakni pulpen digital. Yang ketika disentuhkan ke tulisan bisa mengeluarkan bunyi huruf tersebut.
Usaha ini lantas berkembang ke Alquran digital. "Orang Pakistan yang menyarankan mengapa tidak menjual pulpen serupa untuk membaca Quran," ujar Jenny.
Jenny pun menjalin kerja sama dengan lembaga pentasbih Quran. Dia juga bekerja sama dengan banyak ustad terkenal.
Jenny pun bisa mengucapkan istilah-istilah khusus terkait dengan Quran: juz, surah, tahfidz, tajwid..
Setelah era digital meluas, usaha Quran digital ini surut. "Peraturan di toko buku Gramedia juga berubah. Saya tidak bisa mengikutinya lagi," katanyi. Selama bertahun-tahun Quran digital yang dikelola Jenny ''menguasai'' rak buku Gramedia.
Setelah surut itulah Jenny mulai dagang mesin pembuat mie. Juga laris. Tapi siaran TV khusus untuk jualan barang tidak ada lagi. Usaha mesin mie pun redup.
Setelah Jenny punya anak tiga orang, sang suami sakit. Minta pulang ke Beijing. Meninggal di sana.
"Di antara bisnis alat baca digital, Quran digital dan mesin mie mana yang paling menghasilkan?" tanya saya.
"Quran digital," jawabnyi.
Dari hasil berbagai usaha itulah Jenny kini punya enam ruko di Kelapa Gading, Jakarta. Enam ruko itu dia jadikan satu. Jadilah Sagolisious. Yakni restoran mie sagu pertama di Indonesia. Di situ juga konter penjualan mie sagu kering. Kerupuk sagu kering. Dan makaroni kering.
Di bagian belakang resto itu dia buka music lounge: tiap malam ada live band. Banyak yang makan sambil menyanyi di situ.
Waktu Pekan Olahraga Nasional (PON) diselenggarakan di Papua, Jenny ke sana. Bersama anak bungsunyi. Waktu itu uji coba pembuatan mie dari sagu sedang dia lakukan. Dia kampanye mie sagu di Jayapura.
Jenny juga ke pusat tanaman sagu di pedalaman Sorong. Berhari-hari Jenny di sana. Sampai tahu kebiasaan masyarakat di situ makan ulat sagu. Mirip orang Blora makan ulat jati.
Ulat itu gemuk-gemuk. Menor-menor. Digoreng. Dimakan. Jenny ikut menikmati makan ulat sagu. Bahkan dia berani ditantang penduduk asli Papua makan ulat hidup.
"Tidak menggigit lidah?"