Jenny Mei
Pemilik Sagolisious Jenny Wijaya bersama Menteri Sosial Tri Rismaharini.--
Oleh: Dahlan Iskan
GUS DUR yang membuat Jenny Wijaya pulang ke Indonesia. Secara tidak langsung. Dia sudah dua tahun di Beijing. Sudah mulai kerasan. Sudah kawin di sana.
Mungkin Jenny tidak akan jadi pelopor mie sagu seperti sekarang kalau Gus Dur tidak jadi presiden Indonesia.
Dia ikut menggerakkan masyarakat Indonesia di Beijing untuk menyambut kedatangan Presiden Abdurrahman Wahid di ibu kota Tiongkok itu.
"Teman sekelas saya ikut saya ajak parade. Mereka orang Korea, Jepang, dan Thailand. Mereka saya minta pakai pakaian adat suku-suku di Indonesia. Saya pinjam pakaian daerah itu dari kedutaan Indonesia," ujar Jenny.
Jenny ikut mengungsi ke Tiongkok akibat kerusuhan Mei 1998. Dia sendiri tidak ingin mengungsi. Tapi ayahnyi ketakutan luar biasa. Sang ayah sakit-sakitan. Kalau kerusuhan meningkat ia tidak bisa berbuat apa-apa.
Waktu kerusuhan Jakarta itu, Yenny tinggal di salah satu apartemen di Jalan Hayam Wuruk. Dia sudah bekerja: jualan apartemen. Dia tinggal di kamar yang belum laku.
Orang tua Jenny tinggal di daerah Grogol. Suami-istri itu berbeda pendapat: sang suami ngotot harus mengungsi dari Indonesia. Sang istri tidak mau. "Saya diminta mama untuk menemani papa mengungsi," ujar Jenny. Itu hari ketiga kerusuhan Mei 1998.
Mereka masih punya keluarga yang tinggal di Nanjing. Ke ibu kota lama Tiongkok itulah mereka tinggal sementara.
Jenny sendiri lantas ke Beijing. Dia ingin memperdalam bahasa Mandarin. Selama ini dia lancar bicara Mandarin tapi tidak bisa membaca dan menulis huruf kanji. Kemampuan bicaranya level universitas. Kemampuan membaca dan menulisnyi di level TK.
Saat sekolah itulah Jenny tahu ada restoran yang makanannya enak tapi sepi sekali. Dasar orang marketing, Jenny menemui pemilik resto itu. Dia ajukan konsep agar restonya laris.
Konsep diterima. Dia kerja di situ. Berhasil. Resto itu ramai sekali.
Penampilan daftar menunya dia ubah total. Selama itu hanya ada tulisan Mandarin di menu. Tanpa terjemahan. Tanpa foto makanan. Jenny pun bikin brosur dalam lima bahasa: Mandarin, Inggris, Korea, Jepang, dan bahasa Indonesia. Dia sertakan foto-foto makanan yang disajikan. Dia sebar brosur itu ke mana-mana.
Jenny pun kawin dengan pemilik restoran itu.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: