”Kalau tercapai 20 ribu kita boleh nambah wartawan,” kata Bang Eel. Dengan janji dukungan seperti itu rasanya saya bisa optimistis. Ia juga cerita tentang rencana grup kami bikin koran kedua. Bahkan namanya pun sudah ada. ”Dinamika Kota”. Koran umum, bukan koran kriminal seperti Metro Kriminal.
***
Kedai Kopi Purnama namanya. Nama yang melegenda. Sudah beberapa kali aku ngopi dan, nah ini dia, menyantap hidangan khas mie lendir. Kalau dengar namanya rasanya agak jijik. Kata lendir itu konotasinya memang kotor, dan jorok. Kata itu merujuk ke kuah kacang yang dikentalkan dengan tapioka. Ya, memang seperti lendir jadinya. Tapi itulah nikmatnya. Kuah dengan aroma ebi, dan gurih kaldu, melimpah di atas mie yang silindernya besar-besar.
Bang Jon sudah menunggu ketika aku tiba di kedai itu. Dengan rokok putih mahal. Dua bungkus dia tumpuk di meja di hadapannya, di sebelah kunci Storm. Di tangannya Zippo perak yang ia buka-tutup, ia nyala-hidupkan.
”Minum apa, Dur? Kopi tarik? Atau teh tarik?” Aku memesan teh tarik.
Tandas seporsi mie lendir. Bang Jon menawari pesan makanan lain. Saya bilang itu sudah cukup. ”Bungkus ya, buat anak-anak panti?” tanya Bang Jon. ”Koh, bungkus ya… Ke sinilah, ini tanya kawan saya ini, berapa bungkus,” katanya memanggil koko kedai kopi.
”Nggak ngerokok, Dur? Ini coba. Enak lo…,” kata Bang Jon. Saya coba sebatang. Saya tak tahu bagaimana rasa rokok enak dan tidak enak. Bagiku sama saja. Bikin dinding mulut terasa tebal dan tenggorokan langsung gatal kayak mau batuk. Jon terkekeh-kekeh.
”Kamu masih di panti asuhan itu ya? Ambil rumahlah. Itu ada perumahan baru ke arah bandara,” kata Bang Jon.
”Belum punya uang mukanya, Bang,” kataku.
”Uang muka kok dipikir,” kata Bang Jon. ”Nah, gini. Mumpung kita lagi omongin uang. Aku ajak kamu ngomong ini.” Dia perbaiki posisi duduk. Menegakkan tubuh, menandai keseriusannya. Agak heran juga saya dengan keramahannya, apalagi teringat kemarahannya kemarin sebelum dan pada saat rapat.
Bang Jon lalu cerita soal rencana grup Pedoman Rakyat. Saya tahu itu grup media besar, lebih besar, dan lebih tua dari grup koran kami. Grup itu akan buka koran di kota kami.
”Aku sudah ketemu mereka, Dur,” kata Jon. ”Aku mau tahu sekarang berapa gaji barumu?”
Saya bisa menebak ke mana arah pertanyaan Bang Jon, saya sebutkan saja angka di SK baru itu.
”Kamu mau ikut aku nggak? Kita gabung ke koran Grup PR itu, namanya bagus Podium Kota, bukan koran kriminal. Capek kita di kriminal terus. Itu koran sudah ada di beberapa kota. Bakal jadi pesaing grup kita. Di beberapa kota lain, grup kita goyang, Dur. Mereka serius. Dipersiapkan benar. Juga soal gaji wartawan. Jauh lebih baik. Saya bisa pastikan gajimu di koran baru itu bisa dua kali lipat minimal. Terserah kami minta berapa, asal tak lebih dari tiga kali lipat gajimu sebagai asredpel yang kamu sebut tadi itu,” kata Jon.
Saya sangat terkejut dengan tawaran Bang Jon ini. Begitu cepatnya sikap Bang Jon berubah. Ada apa? Apakah persaingan dengan Bang Eel kini juga bersaing memperebutkan aku agar ada di pihak mereka, bahkan kini tawarannya adalah berada di koran yang berbeda? Tapi rasanya aku tak sepenting itu untuk diperebutkan.
Saya mematikan rokok. Menunduk. Tak tahu bagaimana hendak menolak. Juga sangat ragu untuk menerima. Dalam banyak hal, grup PR di mata orang banyak, di negeri ini, lebih baik dari grup koran kami. Grup kami memang lekas sekali berkembang. Seakan-akan tanpa perhitungan bisnis yang matang. Intuitif saja.