Abi Kusno
Sempat tergiur dengan porang. Diingatkan teman untungnya. Beberapa teman yang lanjut investasi porang, kini menunggu kenaikan harga jual. Yang modal cumpen, apa boleh buat. Dijual senyampang ada pembeli. Rugi? Pasti. Petani pinggiran tak mungkin menunda jualan sementara perut keroncongan. Kita tunggu kabar baik tentang si porang.
Damblebee
Kalau beras porang yg dicampur dgn beras padi sudah ada dari awal tahun ini Pak DI, merk nya Fukumi (disc : bukan iklan, bukan endorse), yg dari bbrp bulan lalu sudah dijual di bbrp supermarket2 besar Jabodetabek dan marketplace (rata2 dijual di harga 195-205 ribu). Bahkan saya pernah lihat di berita Pak Menko Airlangga mengunjungi pabriknya (saya tidak tahu apakah levelnya masih UMKM atau sudah di atasnya). Kemasannya ada yg pouch 1 kg, dan sachet untuk porsi sekali makan sehingga bisa dibawa untuk berpergian. Proses pengolahannya pun mudah karena tidak perlu pakai rice cooker, tinggal tuangkan air mendidih ke dalam beras yg ada di mangkok, lalu tutup dan diamkan selama 15 menit (seperti bikin pop mie). Teksturnya sudah 80% mirip nasi putih biasa, kalau nasi shirataki kan teksturnya crunchy seperti agar2, dan ada sedikit aroma daun pandan. Beras yg sangat cocok untuk penderita diabetes dan yg mau diet, tapi tidak suka dengan tekstur beras shirataki (terutama manula), hanya harganya saja yg masih kurang cocok di kantong :) Saya juga mau coba beras Mamagu dan Dapur Porang, lalu membandingkan rasa dan teksturnya dengan Fukumi. Semoga permintaan akan beras campuran porang seperti ini semakin banyak sehingga harganya bisa turun cukup banyak.
Johan
Beras porang oplosan yang punel (atau pulen), dijual dengan harga Rp 185.000/kg. Mahal sekali? Tergantung mengukur dengan standar apa. Jika diukur dari price for healthy lifestyle, jelas uang Rp 185.000 bisa dipakai untuk membeli makanan lebih sehat dari sekilo beras porang yang berkandungan glukomanan tinggi itu. Tapi jangan lupa disitu memiliki kandungan halal 100%. Kandungan tak kasat mata yang bisa menjauhkan diri dari pintu neraka. Tentang hal ini tentu susah dicari patokan harganya. Beras porang sebagai pengganti beras biasa di masa depan, untuk hidup yang lebih sehat. Ini jelas ide menarik dan bisa dipertimbangkan, yang penting harganya terjangkau oleh semua kalangan. Tidak ada nasi, bubur pun jadi, apalagi bahan bakunya dari porang. Tentu tidak ada masalah, yang penting bisa mengganjal perut yang lapar. Plus menyehatkan. Asal bukan salah paham seperti yang terjadi di Tiongkok pada zaman dinasti Jin (suksesornya era Tiga Negara). Kaisar Sima Zhong, entah saking bodohnya, atau ingin bercanda di momen yang tidak tepat. Membuat komentar yang mencatatkan dirinya sebagai kaisar terbodoh sepanjang sejarah Tiongkok. Alkisah pada masa itu, Tiongkok dilanda bencana kelaparan. Penjabat yang menghadap kaisar melaporkan hal itu. Sang kaisar mendengar dengan seksama dan nampak berpikir keras. Kemudian melontarkan jawaban yang tak terpikirkan oleh orang normal. “百姓无粟米充饥,何不食肉糜?" (Jika orang-orang lapar tidak punya nasi untuk dimakan, mengapa tidak makan bubur daging saja?)
Mirza Mirwan
Sayang sekali, Pak DI tidak menanyakan kepada Ny Lenny berapa persen komposisi beras padi dan tepung glukomanan dalam beras porang produksinya. Taruhlah beras padinya 25%, misalnya, dan tepung glukomanan 75%, harga Rp185.000/kg itu benar-benar ajubile! Saya pernah nyobain Shirataki Konyake yang Rp210.000/kg. Rasanya kalah jauh dari Rojolele yang Rp99.000/5kg. Ya cuma sekali itu beli Shirataki. Tentang cerbung si Dur (Hasan Aspahani /HA), saya hanya membaca bagian pertama. Itupun hanya beberapa paragraf, tidak sampai selesai. Saya belum pernah membaca buku tentang Chairil Anwar yang ditulis HA. Tetapi dari beberapa paragraf cerbung HA itu saya tidak yakin isinya selengkap pujian Pak DI. Boleh jadi HA hanya membuat kompilasi dari beberapa buku tentang Chairil Anwar dari HB Yassin, Boen S. Oemaryati, Pamusuk Eneste dan sebagainya. Bagi saya, buku tentang Chairil ysng memuat lengkap perjalanan hidup Chairil, dari berbagai sisi, adalah karya Syumandjaya (almarhum). Meskipun usianya 11 tahun lebih muda dari Chairil, Syumandjaya pernah berinteraksi dengan Chairil bahkan menyaksikan detik-detik saat Chairil mengembuskan napas terakhirnya pada 28 April 1949 di RSUP Dr. Cipto Mangunkusumo (dulu CBZ). Buku itu terbit setelah Syumandjaya meninggal, dengan kata pengantar dari Si Burung Merak, WS Rendra.
Er Gham
Orang kaya berburu beras shiratake mahal karena kalori 0%. Ingin makan nasi tapi yang kalorinya 0 persen. Atau yang diet, malah menjauhi nasi. Nasi dianggap makanan 'kotor' bagi yang sedang diet keras atau bagi binaragawan. Padahal tanaman padi tercipta di dunia ini untuk pangan. Buat yang suka menjelek jelekkan nasi, makanlah hanya daun dan rumput. Lihatlah gajah, badak, kuda, mereka tetap sehat.
*) Dari komentar pembaca http://disway.id