Oleh: Dahlan Iskan
BANG Jon menolak bertemu sehabis rapat itu. Ia bilang besok pagi saja. Saya lihat wajah putihnya –putih khas orang Manado yang rada mirip Tionghoa itu, juga sempit bukaan matanya itu –tak lagi memerah seperti di tengah rapat redaksi tadi. Saya agak tenang melihatnya. ”Besok di Kedai Purnama, ya. Tahu kan?”
Aku langsung tancap gas di ruang redaksi. Dua redaktur yang membantu tak perlu diragukan kerjanya. Stok berita cukup. Bayangan headline halaman depan dan semua halaman dalam sudah ada juga. Saya masih ada waktu mengetik beritaku sendiri. Lalu menyunting hasil wawancara wartawan kami dengan pejabat di Otoritas Pengembangan Kawasan Perdagangan Bebas. Atau OPKPB. Orang di kota ini bisa menyebut OP saja. Metro Kriminal, seperti media lain, juga biasa menyebut dengan ringkasan OP saja. Soal investasi besar, Maestrochip Corp. yang akan menyerap sepuluh ribu pekerja. Angka yang luar biasa besar.
Saat aku mengedit berita itu, Bang Eel tiba di kantor. Dia langsung bertanya padaku. ”Dur, ada berita dari OP soal investasi Maestrochip Corp?”
"Ini sedang saya edit, Bang.”
Bang Eel, menggeser dudukku, mengambil alih komputer yang kupakai mengedit, mengecek judul, membaca lead, dan dengan cepat men-scroll layar sampai ke akhir berita.
”Oke, ini nanti di halaman depan, ya,” katanya.
”Cocok, Bang? Kita koran kriminal lo? Apa gak aneh?”
”HL kedua, bukan headline utama. Ini perusahaan besar, bakal menyerap sepuluh ribu operator, Dur. Nanti mereka pasang iklan loker tiap hari. Ini Bang Ameng yang pegang semacam humasnya atau penghubungnya di lokal. Ia yang pegang dan atur iklannya. Ia akan sering kontak kau nanti. Temui aja. Langsung. Tak usah sama-sama aku, tak apa. Kau kan sudah kukenalkan….”
Aku belum terlalu paham.
”Sudah, saving dulu. Nanti hilang. Belum ada kerjaan lain? Semua aman kan? Rapat tadi gimana?”
”Aman, Bang…”
”Bagus, kau tegas saja sama Jon itu. Tadi aku sudah tahu, kok. Mila tadi telepon aku ke percetakan,” kata Bang Eel.
Bang Eel ajak saya bicara di ruangannya. Dia mau sampaikan hasil rapat dengan orang percetakan. Intinya, Surabaya akan kirim mesin cetak baru, lebih cepat, lebih bagus hasilnya, bisa maksimal enam belas halaman sekali jalan. Dua tower istilahnya. Tapi Metro Kriminal harus mencapai 30 ribu. ”Minimal 20 ribulah. Kalau lihat tren kenaikan beberapa bulan terakhir, kita bisa akhir bulan ini tembus 20 ribu,” kata Bang Eel.
Dia seperti menuntut, memicu, dan menyemangati saya. ”Mesin yang sekarang akan dikirim ke Medan. Tadinya mesin baru itu untuk di Medan sana,” kata Bang Eel. Saya mengiyakan saja. Tampak berat tapi menantang. Kalau harus tambah halaman, saya sudah menghitung tenaga redaksi pasti kurang.