Karnoto menerangkan, tuntutan nakes perlu didukung karena mereka merupakan pejuang kemanusiaan yang tenaga dan jasanya sangat dibutuhkan.
“Sebesar 54 persen nakes di Garut itu honorer. Kalau 2.000 honorer berhenti bekerja, rumah sakit dan puskesmas bisa lumpuh,” ujarnya.
Karnoto juga meminta pemerintah pusat melakukan revisi Peraturan Pemerintah (PP) 49 tahun 2018 tentang Manajemen Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) membuka peluang kalangan profesional untuk menjadi Pegawai Aparatur Sipil Negara (ASN).
Profesional dapat mengisi Jabatan Fungsional (JF) dan Jabatan Pimpinan Tinggi (JPT).
Kata dia, PP 49 tahun 2018 menimbulkan gejolak di kalangan honorer. Karena dalam pengangkatan PPPK dibuka untuk umum, bukan hanya pegawai honorer.
“Sebaiknya PP 49 tahun 2018 ini dicabut, karena dinilai tidak implementatif dan menimbulkan gejolak di kalangan honorer,” ujarnya.
Anggota Komisi 4 lainnya Yudha Puja Turnawan menegaskan, ada kesalahpahaman terhadap Surat Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Reformasi Birokrasi (MenPAN-RB) mengenai penghapusan honorer yang diberlakukan bertahap hingga 28 November 2023. Sesuai aturan, memang honorer harus dihapus secara bertahap sampai 28 November 2023.
Tetapi penghapusan bukan dalam konteks pemecatan atau pemberhentian, tapi penataan. “Pemda-lah yang harus melakukan penataan, mengusulkan dengan menyalurkan para honorer ini ke CPNS, PPPK atau outsourcing,” terangnya.
Yudha menerangkan, untuk outsourcing hanya berlaku untuk rekrutmen petugas kebersihan, keamanan dan supir.
“Kalau untuk honorer nakes ini jika tidak diangkat menjadi CPNS, ya PPPK,” terangnya.
Yudha meminta honorer, khususnya nakes jangan takut meski ada wacana penghapusan honorer pada tahun 2023.
“Kebijakan Kemenkes ini sudah jelas, hingga tahun 2023 nakes yang masih honorer akan diangkat menjadi PPPK selama memenuhi kriteria,” paparnya. (yna)