Langit, Kompas, dan Sebuah Ijtihad

Langit, Kompas, dan Sebuah Ijtihad

Makam KH Ahmad Dahlan di Karangkajen Yogjakarta. istimewa for radartasik.com--

SORE itu, di langit Kauman yang berwarna keemasan, seorang lelaki berpeci hitam memegang kompas dan alat ukur sederhana.

Di tangannya terbentang sehelai kertas dengan garis-garis yang penuh angka dan arah mata angin.

Lelaki itu adalah Muhammad Darwis yang telah berganti nama menjadi Ahmad Dahlan, seorang ulama muda yang wajahnya teduh namun matanya tajam oleh keyakinan.

Meski usia masih relatif muda, namun karena telah menuntaskan belajarnya di Tanah Suci sekaligus menuntaskan rukun Islam kelima yakni ibadah haji, maka masyarakat lebih menyebut namanya sebagai Kiyai Haji Ahmad Dahlan.

BACA JUGA:Pemuda Pemerkosa Nenek di Tasikmalaya Resmi Jadi Tersangka, Akui Mabuk Sebelum Beraksi

Beliau berdiri di halaman Masjid Kauman, tempat di mana banyak orang sudah turun-temurun menunaikan shalat.

Tapi sore itu beliau menemukan sesuatu yang mengusik hatinya: arah kiblat masjid tidak tepat.

Ia tidak bisa membiarkan umat shalat dengan arah yang melenceng, walau hanya beberapa derajat.

Sebab, bagi beliau, kebenaran dalam ibadah harus dibangun di atas ilmu dan keyakinan.

BACA JUGA:BNI Salurkan 109.000 KPR Subsidi Dukung Program 3 Juta Rumah

Dengan ketelitian seorang ilmuwan dan keimanan seorang hamba, KH. Ahmad Dahlan mulai menghitung arah kiblat berdasarkan Ilmu Falak yang dipelajarinya di Makkah.

Beliau menggunakan rumus-rumus trigonometri bola, memperhitungkan letak lintang dan bujur Yogyakarta, arah Kabah, serta perbedaan waktu dan posisi matahari.

Sebuah pekerjaan yang pada masa itu nyaris mustahil dilakukan oleh kebanyakan orang.

Ketika hasilnya menunjukkan bahwa arah masjid harus digeser, beliau pun memindahkan mihrab. Bukan tanpa risiko.

Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News

Sumber: