Omnibus Kesehatan

Omnibus Kesehatan

Ilustrasi beasiswa dokter spesialis.--PEXELS--

Johan

Tahun pertama tugas Lutfiya adalah mempelajari bahasa Mandarin. Harus lulus dulu sebelum melangkah ke materi kuliah yang dia ambil. Semoga sukses. Pastikan juga naik pesawat yang tepat. Air China, jangan China Airlines. Nanti terbang ke Taiwan. Turun pesawat di bandara Taoyuan dia bilang ke sopir taksi mau ke Tsinghua, diantar ke Universitas Tsinghua di Hsinchu. Wkwkwk 

Liam Then

Gubernur yang kok takut wakilnua nyalon? Tak percaya diri, jadi pecah kongsi. Ini bukan contoh pemimpin yang baik. Di dapuk untuk pimpin masyarakat dengan visi masa depan yang lebih baik, malah ributan dengan wakil gegara tak mau bagi wewenang. Tapi lebih baik prasangka baik saja, Gubernur yang borong wewenang, sampai wakil nya merasa tak kebagian, itu bisa jadi karena Gubernurnya maniak kerja, apa-apa semuanya dia. Atau Gubernur orangnya perhatian, takut wakilnya kecapekan, jadi tak di kasih kerjaan.

Pryadi Satriana

Menurut saya, ada bbrp 'kebijakan pendidikan' yang SANGAT SALAH. Pertama, 'kebijakan' - walaupun atas permintaan - mengirim 'guru2 terbaik kita' di sekitar th. 70-an dst. Kesalahan dimulai dari situ: 'anak tetangga diurus dg baik', tapi anak sendiri 'gak kopen'! Kedua, penerapan 'zonasi' dalam Penerimaan Siswa Baru (PSB). Maksudnya pemerataan kualitas pandidikan, yg terjadi 'pemerataan kualitas pendidikan yg rendah di hampir seluruh sekolah negeri'! (Fakta: sekolah2/pesantren2 yg memberlakukan seleksi masuk ketat yg berjaya!). Ketiga, penghapusan Ujian Nasional! (Fakta: Tiongkok - yg sangat ketat dlm standard UN - melesat jauh di bidang pendidikan, teknologi & ekonomi pun otomatis mengikuti!). Keempat, Mendikbud yg TIDAK memahami masalah2 pendidikan di Indonesia & penanganannya. Nadiem berorientasi ke negara2 Barat, yg sistemnya sudah mapan & kemampuan SDM-nya relatif merata. Kita tidak begitu! Kebijakan 'zonasi' & 'penghapusan UN' didasarkan pada dua hal tadi, yg di Indonesia masih amburadul! Demikian menurut saya. Salam. Rahayu.

Mirza Mirwan

Konon, sebelum hubungan diplomatik Indonesia-Tiongkok dibekukan pada 30 Oktober 1967 dulu banyak mahasiswa Tiongkok yang kuliah di Indonesia. Cerita itu saya dengar dari dosen senior saya di paruh akhir dekade 1970-an. Padahal di Tiongkok ada Universitas Peking (Beijing) dan Tsinghua yang, dari segi usia, lebih tua ketimbang UI, ITB, dan UGM. Tetapi sejak normalisasi hubungan diplomatik pada 23 Februari 1989 keadaannya jadi terbalik. Justru banyak mahasiswa Indonesia yang kuliah di Tiongkok. Dan semakin banyak lagi sejak awal milenium ke-3. Tidak ada yang berlebihan, memang. Saya menyaksikan sendiri, di pertengahan 1980-an Tiongkok itu terkesan tertinggal jauh dari Indonesia. Tetapi sekarang beda ceritanya. Tsinghua University, tempat Luthfiya mengambil program master itu, juga Peking University, termasuk dalam Top20 universitas dunia. Versi The Times Higher Education World University Ranking, Tsinghua nangkring di peringkat 16 dunia, diikuti Peking University di peringkat 17. Sementara versi QS World University Ranking, Tsinghua di peringkat 17 diikuti Peking University di peringkat 18. Kedua universitas sohor di Tiongkok itu kampusnya berdekatan, tetapi sebenarnya Peking University jauh lebih tua ketimbang Tsinghua. Bandingkan dengan UI, ITB, UGM yang peringkatnya sekian ratus sekian. Apakah sekarang tak ada lagi mahasiswa Tiongkok yang kuliah di Indonesia? Ya, masih ada.Tetapi kebanyakan mengambil Prodi Pendidikan Bahasa Indonesia.

Johannes Kitono

Selamat untuk mb Lutfiah yang dapat bea siswa S 2 di Tsinghua. Memang pantas melihat integritasnya yang tinggi. Bersedia konversi gaji Rp.7,5 juta menjadi hanya Rp.1,5 juta demi mengabdi kampung halaman. Selain Tsinghua ( 1911 ) ,ada juga Beijing Univ ( Beita, 1898 ) yang rankingnya hampir sama. Alumni top Tsinghua antara lain Xi - Jinping dan Hu- Jintao. Sebaliknya alumni top Beita adalah Li Keqiang, Robin Li, CEO Baidu dengan kekayaan US$,14,7 mily. Suatu ketika ditahun 2000 an, Dr Sumet Jiaravanont,Chairman CP Indonesia mengundang Presiden Beita ke Jakarta. Tujuannya agar supaya Presiden Beita berbagi pengalaman pendidikan dengan petinggi Universitas di Indonesia. Diskusi dan santap siang di hotel Shangrila, Jakarta. Turut hadir wakil dari UI, Trisakti dan Tarumanegara yang saat itu Rektornya Prof Dali S Naga. Ketua Kadin Aburizal Bakri dan ex Dubes Letjen Kuntara ( alm ) dan beberapa pengusaha juga hadir. Ada hal hal yang lucu pada event itu. Panitia yang telah menyiapkan penterjemah bahasa Mandarin jadi malu tersipu. Dengan fasih Presiden Beita bicara dalam bahasa Inggris, ternyata beliau PhD dan alumni Stanford. Universitas swasta mahal di USA. Audiensi kembali terkagum ketika Letjen ( Purn ) Kuntara ex Dubes dengan fasih bertanya dalam bahasa Mandarin. Ada satu pertanyaan yang menarik,berapa angka DO di Beita. Jawabannya hampir tidak ada dan menurut sang Presiden, untuk diterima jadi mahasiswa di Beita. Sulit dan persaingannya tinggi sekali. ( bersambung )

Johannes Kitono

Kalau mahasiswa ada masalah akan dipilah.Masalah akademis atau finansial. Kalau akademis akan di tentir, semacam les tambahan. Kalau finansial mungkin bisa kerja extra di Perpustakaan. Jawaban tsb membuat seorang pendengar menyerutuk.Kok di negara Komunis justru mereka mengaplikasikan Pancasila. Malu aku. Target dari Beita setiap tahun akan mengirimkan ratusan lulusan terbaiknya untuk meraih S3 atau PhD di luar negeri. Ketika saat lunch, salah satu alumni Beita di Jakarta, yaitu Teguh Ganda Wijaya dari Sinar Mas duduk semeja dengan Presiden Beita. Dengan gembira P Teguh berulang ulang terima kasih ke panitia. Merasa bangga dan terhormat bisa duduk semeja makan dengan Presiden Beita yang sangat dihormatinya. Titip pesan untuk mb Lutfiah di Tsinghua. Belajar yang rajin dan jadilah yang terbaik. Siapa tahu setelah lulus bisa berbagi pengalamannya dengan para pembaca CHD. Mau di hotel Shangrila atau Resto Ayam Taliwang tidak ada masalah.

Leong putu

Alis lentik mata berbinar / Senyum manis sungguh menggoda / Gadis cantik juga pintar / Sarat prestasi namanya Lutfia / .. 365_mantun pintar.

Pryadi Satriana

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: