Siapa Membunuh Putri (16) - Teror di Radio
Ilustrasi polisi.-Pixabay-
Mungkin Inayah menunggu saya, karena dia menganggap hubungan saya dengan Suriyana pun tak jelas. Saya jadi merenungkan persoalan itu. Sudah beberapa bulan sejak kami, kami masih merasakan kegembiraan yang sama, kegembiraan bertemu lagi setelah sekian tahun. Tapi saya tak berani melangkah lebih jauh dari itu. Saya terlalu cemas jika ternyata Suriyana menganggap hubungan kami hanya sebatas itu. Pembicaraan dengan Ustad Samsu, pertemuan rutin tiap Jumat dengan Inayah, membuat saya berpikir bahwa memang sebaiknya aku memberi kepastian pada Inayah. Saya harus lebih dahulu memastikan hubunganku dengan Suriyana.
Dan itu besok. Sabtu besok. Suriyana mengabari akan datang dengan kejutan. Minggu sebelumnya dia membawakan untuk saya kamera Panasonic, seri awal Lumix. Dia membeli karena tertarik dengan bobotnya yang ringan dan bodinya kecil. Ringkas. Hasil foto dengan setingan otomatisnya pun bagus sekali. Dia menghadiahkan untuk saya, karena katanya, dia jarang sekali bahkan nyaris tak pernah memakainya sejak kamera itu dia beli. Saya tak bisa menolak. Dia memberi dengan amat tulus. Lagi pula saya memang sangat ingin punya dan perlu kamera sendiri.
Terrkait pekerjaan saya dan hobi saya mengambil foto jalanan. Hobi baru yang masih terkait pekerjaan. Tapi bisa terlepas sama sekali dari foto jurnalisme. Pendekatan street photography membuat saya memotret benar-benar dengan cara pandang saya pribadi, bukan sebagai jurnalis yang memotret untuk koran saya, untuk pembaca saya.
Sidang terakhir kasus pembunuhan Putri makin memojokkan AKPB Pintor. Pembela Awang dan Runi menuntut agar dilakukan otopsi ulang atas mayat korban, karena kurangnya bukti yang meyakinkan yang mendukung tuduhan atas tersangka. Ia juga menuntuk agar AKPB Pintor ditetapkan sebagai tersangka, karena indikasi keterlibatannya –bahkan semakin mengarah bahwa dialah otaknya– semakin kuat.
Pengakuan Awang menguatkan permintaan pengacaranya itu. Awang mengaku hanya diminta membuang mayat Putri. AKPB Pintor menjanjikan upah Rp50 juta. Dia sudah menerima Rp5 juta. Diberi tunai. Tak ada bukti pemberian dan penerimaan itu. AKBP Pintor tentu saja membantah. Dia ketika dihadirkan sebagai saksi, mengatakan uang itu dia berikan untuk upah dan biaya memperbaiki pagar teralis rumahnya.
Dia meminta agar Awang diperiksa dengan alat pendeteksi kebohongan. “Dinamika Kota” mengangkat headline: Awang Mengaku Dibayar Rp50 Juta untuk Buang Mayat Putri”. Sementara “Podium Kota” memilih judul: Pintor Minta Tersangka Awang Diperiksa Lie Detector. Keduanya berdasarkan pernyataan di dalam sidang. Keduanya fakta. Tapi bagi kami judul kami terkait langsung dengan kasus yang sudah disidangkan. Sementara soal permintaan Pintor itu tak berkait langsung, ia menyerang terdakwa. Ia defensif, ia meragukan keterangan terdakwa yang bicara di bawah sumpah.
Saya diminta bicara di siaran pagi radio Borgam FM. Borgam FM adalah radio pertama di Borgam. Studionya di kawasan yang teduh dan nyaman di Teluk Pinggir. Tak jauh dari rumah Rinto Sirait. Saya meneleponnya, merencakanan singgah setelah siaran.
Seharusnya pemred “Podium Kota” juga jadi pembicara. Tapi membatalkan sebelum siaran dimulai. Saya bicara berhati-hati hanya sebatas fakta-fakta yang kami beritakan. Jika harus menjawab dengan analisis atau opini pun saya mendasarkannya pada fakta yang kami beritakan. Apa yang sudah kami pertimbangkan benar menurut kaidah jurnalistik. Kami tak mau berlebihan hingga melakukan trial by the press, kami tak menjaga benar agar mencampurkan fakta dan opini.
“Koran Anda seperti menggiring agar AKBP Pintor menjadi tersangka. Kenapa?” tanya penyiar Borgam FM, setelah sebelumnya ada juga pendengar yang menelepon dan menanyakan hal yang serupa.
“Kami sama sekali tidak menggiring. Kami setia pada fakta. Kami hanya menyampaikan fakta-fakta yang ada di persidangan. Persidangan itulah nanti yang membuktikan mana fakta yang benar dan berdasarkan itu siapa yang bersalah. Sejauh mana keterlibatan Awang dan Runi, dan apakah benar otak pembunuhan adalah AKBP Pintor sendiri,” kataku, setengah mungkin.
“Ada penelepon, kita persilakan masuk. Silakan, dengan siapa dan dari mana…” Penelepon menyebut nama, saya yakin itu nama samaran, dan dari mana dia menelepon, yang saya juga ragukan.
“… Anda kabarnya tim sukses calon walikota dan calon wakil wali kota Alkhaidar dan Restu Suryono, ya? Berita Anda mereka manfaatkan untuk kampanye mereka. Anda sadar nggak? Anda jangan sok berbeda jadi wartawan. Koran Anda itu bikin masyarakat Borgam tegang. Saya ini wartawan senior di Borgam ini. Saya kenal dengan bos Anda Indrayana Idris. Kalau saya laporkan ke beliau, Anda bisa saya minta dia pecat Anda…”
Penyiar radio memutuskan sambungan telepon.
“Mohon maaf, saya kira pertanyaannya sudah jelas. Mas Abdur mau ditanggapi?”
“Begini ya, bapak yang tadi menelepon, konsen kami hanya satu: bagaimana keadilan ditegakkan. Yang salah dihukum, sesuai kesalahannya, yang tak melakukan hal yang dituduhkan jika terbukti begitu ya harus dibebaskan. Pemahaman kami tentang keadilan sesederhana itu, Pak… Kita tunggu saja putusan sela dari hakim, apakah dakwaan itu ditolak atau tidak,” papar saya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: