Siapa Membunuh Putri (15) - Sidang yang Tegang

Siapa Membunuh Putri (15) - Sidang yang Tegang

Ilustrasi sidang.--

Foto adegan itu kemudian muncul nyaris di halaman depan semua koran lokal. Kecuali “Dinamika Kota”. Kami punya fotografer andal. Sapril Saiduna, namanya. Fotografer yang kadang bagai tak punya perasaan. Ia ambil foto-foto sadis, yang tak mungkin kami naikkan di koran kami. Korban bunuh diri yang belum dilepaskan tali yang menggantung di leher, korban kecelakaan yang keluar ususnya, atau terhambur otaknya. Saya pernah kesal padanya, saya harus melihat semua foto-foto sadis itu, dan itu yang bikin saya insomnia. Imaji sadis di dalam kepala terbawa pulang. Susah sekali menghilangkannya.

“Lho, kan Abang yang suruh, nanti kalau tak ada fotonya, nanti saya kena marah lagi…” kata Saprol. Memang benar, saya punya prinsip lebih baik bawa pulang ke kantor foto yang tak mungkin naik daripada tak dapat foto sama sekali. Soal foto mana yang akan naik itu saya yang pilih dan putuskan.

Dari sidang hari pertama itu Sapril dapat banyak foto bagus. Ia menjepret Awang dan Runi dalam sudut yang sulit, dalam jarak lumayan dekat dan terutama dia berhasil menangkap momen keduanya bertatapan dengan AKBP Pintor. Foto itu menggambarkan beragam tafsir. Antara polos, menyesal, takut, dan seperti menuntut sesuatu. Sama sekali tak ada kesan sadis pada kedua orang tersangka itu.

Pada saat yang sama, di hari sidang pertama itu, dua ormas terkait Awang dan Runi juga mengerahkan massa. Tak terlalu banyak, tapi cukup bikin ketegangan terasa. Ferdy sudah kembali meliput. Kami berangkat bersama, disupiri Edo. Dia sudah bisa menyetir meski SIM-nya masih diurus.

Ferdy juga sempat diancam verbal oleh pengacara keluarga Putri. “Kau wartawan ‘Dinamika’ ya? Lurus-lurus aja kalau meliput, kenapa, sih? Jangan macam-macam berita kau, ya?” kata pengacara top dari ibukota. Mendengar nama si pengacara itu saja, orang bisa gentar. Tak tanggung-tanggung memang pembelaan keluarga Putri. Seperti ada sesuatu yang mereka persiapkan.

Bahwa sidang-sidang panjang kasus pembunuhan itu sejak semula telah kami perkirakan akan melebar ke berbagai arah, kami sudah menduga akan kental nuansa politisnya ketika Restu Suryono menjadi pengacara Awang dan Runi.

Dia pengacara amat populer. Dan tokoh politik yang disegani. Partai yang ia pimpin, partai besar itu, menang dalam pemilu terakhir di tingkat kota. Dia menempatkan orangnya sebagai ketua DRPD. Dia sendiri sudah mendeklarasikan diri menjadi calon walikota. Atau wakilnya, dengan calon walikota Alkhaidir. Alkhaidir seorang tokoh besar Melayu. Birokrat yang menguasai dan dihormati seluruh PNS. Tapi sosoknya tak bisa dipisahkan dari gerakan politik Melayu di Gortam. Dia memimpin organisasi yang menghimpun seluruh organisasi Melayu di Gortam, termasuk Porpal.

Restu dan Alkhaidir adalah calon terkuat. Pada sidang hari pertama itu Restu Suryono bikin pernyataan yang mengejutkan, “kami nanti akan buktikan ada tersangka lain, otak dari perbuatan yang disangkakan kepada Awang dan Runi, klien yang kami bela. Bahkan kami yakin, dialah yang harus dihukum, klien kami harus dibebaskan!”

Kami memilih pernyataan itu sebagai headline: Ada Tersangka Lain! Dengan foto Sapril tadi, foto Awang dan Runi turun dari mobil tahanan dan sekilas dari jauh bertatapan dengan AKPB Pintor. Nyatanya dalam sidang, pertanyaan anggota dewan hakim kepada Awang dan Runi mengarah ke hal itu.

Pemilihan foto dan headline di koran kami itu bukannya tanpa perdebatan. Bang Eel demi kehati-hatian mempertanyakan banyak hal. Ia ragu mengutip pernyataan pengacara di luar sidang itu.

“Siapa kemungkinan tersangka lain itu?” tanyanya.

“Suaminya, AKBP Pintor,” kataku.

“Kenapa?”

“Motif, Bang. Motif pembunuhannya Awang dan Runi lemah. Seperti sudah beberapa kali kita beritakan.”

“Tapi menuduh Pintor juga tak ada bukti?”

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: