Siapa Membunuh Putri (11) - Tentang Inayah

Siapa Membunuh Putri (11) - Tentang Inayah

Ilustrasi malam pertama di kos baru.-Maulana Albar Naafi/Harian Disway-

Ustad Samsu membiarkan kami makan bertiga di ruangan khusus kantor pesantren. Ia sibuk dengan para pejabat. Saya dan Suriyana bergantian bercerita kepada Inayah tentang pertemuan kami di Malang. Dia tak bisa menyembunyikan perasaan rindu yang dia rasakan. Seperti saya juga. Dia yang dekat di hadapanku sangat berbeda dengan dia yang formal dan kaku tadi ada di panggung dan memberi kata sambutan tadi. Dia menjelma kembali menjadi seperti Suriyana yang kutemani di Malang dulu. 

Inayah menyimak dengan antusias, bertanya dan tertawa, dengan sikap wajar seperti seorang sahabat baik, sahabatku, dan Suriyana. Dia kulihat turut berbahagia dengan setiap penggal cerita yang membahagiakan saya dan Suriyana. 

Inayah seperti memberikan kesempatan padaku untuk berbahagia, menikmati kegembiraan karena bertemu lagi dengan Suriyana. Dia dengan halus memberi isyarat agar saya abaikan saja keberadaan dia saat itu, anggap saja dia tak ada, atau anggap saja dia sebagai bagian dari kegembiraanku bertemu kembali dengan Suriyana. Dia tak ingin kegembiraanku berkurang karena kehadiran dia. 

Dengan mobil pesantren Inayah mengantar saya dan Suriyana ke pelabuhan. Atau tepatnya saya dan Inayah mengantar Suriyana ke pelabuhan. Apapun, saya, ya saya saat itu sedang sangat berbahagia. Suriyana tadi seperti menahan tangisan ketika bilang bagaimana dia mencariku dan terus merasa kehilangan karena tak bisa menemukan saya. 

Saya seakan tak ingin habis bercerita tentang surat kabar yang sedang kumulai. Kami bertukar nomor ponsel. Dia berjanji berkemungkinan bisa datang tiap akhir pekan terkait aktivitas filantropi lembaga yang ia kelola. 

Feri membawa Suriyana kembali. Saya membayangkan feri yang sama nanti merapat ke pelabuhan yang sama dan saya menunggu dia keluar di pintu kedatangan. 

”Bang Abdur kembali ke kantor?” bertanya Inayah, setelah di mobil itu hanya tinggal kami berdua dan sopir. Saya mengiyakan. Dia melanjutkan, ”Senang ya, bisa ketemu teman lama. Teman seistimewa itu, bisa ketemu lagi, setelah lama menghilang. Pasti senang banget, ya,” kata Inayah. 

Saya menyelidik apakah ada kandungan cemburu dalam kalimatnya itu? Sepertinya ada. Sedikit. Meskipun saya bisa melihat Inayah telah menyembunyikannya dengan sangat baik. Saya justru berharap itu tak ada. Tak ada apa-apa di antara kami. Belum ada. Kami baru saja ketemu tadi. Saya berharap memang pernah tak pernah ada hubungan apa-apa. Hormon di tubuhku terkunci dan sedang kembali bereaksi untuk Suriyani. 

Ada banyak kiriman karangan bunga ucapan di kantor untuk edisi perdana Dinamika Kota. Penuh sepanjang jalan. Datang dari banyak orang, tokoh, kantor, dan lembaga. Bang Eel sedang memotretnya satu per satu. ”Dari mana aja, Dur? Tadi dicari, Bang Ameng… dia datang ke sini tadi. Itu papan ucapannya yang paling besar itu,” kata Bang Eel menunjuk papan nama yang paling besar, paling mewah, dengan nama Maestrocorps, di antara puluhan yang lain.

Bang Eel ajak rapat dengan pemasaran. Hendra Mangindaan, manajer pemasaran kami sebut angka lima belas ribu untuk cetak besok. ”Itu permintaan agen. Sebagian besar sudah bayar di depan,” katanya. ”Hari ini banyak yang minta tambah tak bisa kita layani.”

”Yakin, itu, Ndra?” kata Bang Eel.

”Yakin asal beritanya kayak hari ini. Lanjutkan soal pembunuhan itu,” katanya. 

”Gimana, Dur?” tanya Bang Eel.

”Besok masih berita itu. Ada bahan berita yang sudah kita siapkan. Tapi pasti ada yang baru, kita tunggu teman-teman dari liputan. Saya masih andalkan Ferdy…,” kata saya. 

”Katanya tadi humas Polres marah-marah, cari-cari wartawan kita,” kata Bang Eel. ”Ferdy tak meliput tadi?”

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: