40 Persen BPNT Salah Kaprah, Akurasi Data di Kota Tasikmalaya Berantakan
Reporter:
syindi|
Jumat 10-12-2021,14:00 WIB
radartasik.com, TASIK — Persoalan pendataan masyarakat berkaitan program bantuan pemerintah menjadi pekerjaan rumah bagi Pemerintah Kota Tasikmalaya. Sebab akurasi data penerima manfaat setiap program yang digulirkan, kerap menuai persoalan. Lantaran fakta di lapangan tidak sesuai dengan sasarannya.
Hal ini terungkap dalam peluncuran hasil audit sosial Pemutakhiran Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) dan Penerima Manfaat Program Keluarga Harapan (PKH)-Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT) yang dilaksanakan di Aula DPRD Kota Tasikmalaya pada Kamis (9/12/2021).
Kegiatan yang diinisiasi Koalisi Reformasi Perlindungan Sosial (KRPS) tersebut telah melaksanakan pemantauan partisipatif khusus untuk Pemuktahiran DTSK, Penerima Manfaat BPNT dan PKH. Dengan survei dilaksanakan sejak 4 Oktober -7 November 2021.
Hasil survei yang dilakukan KPRS, dengan responden sebanyak 2938 orang, yang ditanyai 2525 orang menyatakan 45 persen diantaranya pernah mendaftarkan diri sebagai orang tidak mampu atau meminta surat keterangan tidak mampu pada pemerintah baik secara online maupun melalui RT/RW, kelurahan, tenaga kesejahteraan sosial kecamatan (TKSK) dan pekerja sosial masyarakat (PSM).
Tetapi, baru sebagian dari mereka yang diberikan bukti pendaftaran, dibantu petugas waktu mendaftarkan diri, diberi tahu tahapan pasca pendaftaran juga dikunjungi untuk verifikasi dan validasi data.
Selain itu, dari hasil survei tersebut terlihat keterbukaan proses pendaftaran masih kurang, lantaran sebagian besar kelurahan tidak mengumumkan hasil musyawarah 3 hari setelah musyawarah. Ditambah tidak diumumkan selama 7 hari di kantor kelurahan, sehingga warga yang ingin mengeluhkan proses pendaftaran mandiri, tidak bisa menyampaikan kelurahan. Namun posisi RT/RW yang paling diandalkan warga untuk mengadu.
Berdasarkan hasil audit tim, 61 persen atau sebanyak 1.542 responden menerima BPNT. Pada saat di-survei, dari 1542 responden tersebut, 59 persennya menerima dalam tiga bulan terakhir yakni Juli, Agustus, September 2021.
Perempuan dewasa dalam keluarga yang berperan paling penting mengambil BPNT dari E-Warong. Sekitar 40 persen BPNT diambil oleh yang tidak semestinya, RT, RW dan Fasilitator. Hal tersebut mungkin karena E-Warong lokasinya jauh dan antreannya panjang. Dari sisi nilai, paling banyak nilai yang diterima Rp 200 ribu.
Selain itu, hasil audit juga memotret temuan pada program lainnya yakni PKH. Sebanyak 56 persen atau 1420 responden yang mereka survei mengaku menjadi penerima manfaat program itu. Berdasarkan pengakuan warga, nilai yang diterima bervariasi antara Rp 200 ribu sampai Rp 9,75 juta. Paling banyak di atas Rp 600 ribu, yang diterima sekitar 40 persen dari responden. Sedangkan 12 persen penerima mendapat bantuan Rp 600 ribu dan 8 persen responden mendapat Rp 500 ribu.
Komponen yang paling banyak dimiliki KPM-PKH anak usia dini 36 persen, anak usia SD 47 persen dan anak usia SMP 35 persen. Sementara anak usia SMA 30 persen dan lansia 15 persen. Dan 82 responden menerima bantuan PKH dalam tiga bulan terakhir Juli, Agustus dan September 2021.
Sedangkan potensi persoalan yang muncul, masih adanya fasilitator yang membantu mengambil bantuan ke bank. Mereka menyimpulkan temuan dari program tersebut, perempuan khususnya ibu paling berperan dalam mengelola PKH. Mulai menerima dana dan mengatur pemanfaatannya.
Para suami tidak protes tetapi mendukung peran ibu tersebut, karena 94 persen suami mempercayakan manajemen keuangan keluarga pada istrinya.
Dana PKH digunakan untuk kepentingan primer, terutama pendidikan dan pangan. Persoalan yang muncul pada pengambilan bantuan tersebut, yakni lokasi pengambilan dana yang jauh ditemukan 23 persen responden. Antrean lama 19 persen, saldo nol 12 persen dan ada 12 persen pengambilan dana dibantu orang yang tidak semestinya seperti RT, fasilitator atau lain sebagainya.
Berdasarkan hasil audit tersebut, Koalisi Reformasi Perlindungan Sosial merekomendasikan RT dan RW paling dekat dengan warga. Libatkan sepenuhnya dalam penanganan kemiskinan mulai dari pendaftaran sampai penyaluran bantuan. Beri cukup sumberdaya, jangan hanya menjadi ujung tombak tumpul tanpa dukungan kewenangan dan sumberdaya yang memadai.
Pengelolaan bantuan sosial, mulai pendaftaran sampai penyaluran hendaknya terbuka dan lebih banyak memberikan update informasi kepada warga.
Ketua Serikat Pejuang Rakyat Indonesia (SPRI) Kota Tasikmalaya Popi Hindayani mengakui fakta di lapangan persoalan pendataan sangat berantakan. Pihaknya yang baru menyurvei sebagian kelurahan saja di Kota Resik, banyak menemukan fenomena memilukan.
“Salah satunya saat kami kroscek RT/RW sendiri tak paham DTKS, tidak pernah tahu adanya program pemutakhiran data,” tuturnya usai seminar di aula DPRD, Kamis (9/12/2021).
Hasil Audit Koalisi Reformasi Perlindungan Sosial, yang melaksanakan pemantauan partisipatif pada 4 Oktober -7 November 2021.
Menurut dia, DTKS sudah berjalan sejak lama, data yang ada hari ini tercatat mulai dari 2011 dan 2019. Itu pun bukan tahap pemutakhiran melainkan validasi data, sebab selama ini memang pemutakhiran belum pernah dilaksanakan, hanya baru sebatas validasi data.
“Jadi bagaimana data faktual di lapangan si A masih sejahtera atau tidak, si B apakah masih layak dibantu atau tidak, akurasi data itu kerap ditemukan tidak sesuai,” keluh Popi.
Pihaknya mendorong Dinas Sosial Kota Tasikmalaya bergerak mendorong keakuratan data. Supaya, warga yang masuk dalam DTKS minimalnya 90 persen merupakan warga yang layak untuk diberi bantuan.
“Kita harap ada perbaikan, rekan-rekan di koalisi juga spiritnya mendorong perbaikan selain amburadul data, ketika ada keluhan dari publik itu harus ada kejelasan tindaklanjutnya seperti apa, progresnya bagaimana dan kapan solusi atau kepastiannya terjawab pada warga,” papar dia.
Sementara itu, Sekretaris Daerah Kota Tasikmalaya H Ivan Dicksan mengakui dari 18 sampel kelurahan yang diaudit Koalisi Reformasi Perlindungan Sosial, menjadi bahan masukan bagi Pemkot Tasikmalaya. Warning dari Ombudsman pun supaya memastikan akurasi data, mesti menjadi perhatian prioritas.
“Harus kami maklumi memang DTKS itu dinamis, harus secara berkala diperbaharui, kemudian bagaimana memudahkan akses masyarakat untuk melakukan pengawasan. Dinas Sosial sudah inisiasi beberapa waktu ke depan, data DTKS setiap kelurahan itu bisa dipampang dan disaksikan di kantor-kantor kelurahan agar warga turut respons dalam mengawasi,” papar Ivan.
Ia berharap ada feedback atau masukan atas data para penerima yang dipublis secara terbuka itu. Supaya, ketika ada komplain bisa langsung mengadukan tidak perlu ke mana-mana melainkan ada layanan khusus dalam menampung keluhan.
“Itu yang diingatkan koalisi dan ombudsman. Bagaimana layanan pengaduan ditingkatkan, ini akan kami sampaikan ke wali kota supaya menjadi bahan pertimbangan dalam melakukan kebijakan supaya program bantuan sosial semakin baik, transparan dan membuka luas ruang pengawasan publik,” harap dia.
(igi/kim)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: