Was-was Kawin-Cerai Jadi Tren
Reporter:
syindi|
Rabu 24-11-2021,12:00 WIB
radartasik.com, TASIK - Setiap pasangan suami istri mengharapkan rumah tangga langgeng sampai akhir hayat. Tetapi hal itu tidak ada yang bisa menjamin, rumah tangga yang dibangun puluhan tahun bisa hancur karena beberapa faktor.
Sekretaris MUI Kota Tasikmalaya KH Aminudin Busthomi menyesalkan banyaknya pasangan suami istri yang bercerai. Meski diperbolehkan, perceraian menjadi hal yang tidak disukai Allah SWT. “Justru kami khawatir kawin cerai seperti ini akhirnya menjadi dianggap biasa atau malah jadi tren,” ucapnya kepada Radar, Selasa (23/11/2021).
Perceraian, kata Kiai Amin, bukan hanya soal berpisahnya pasangan suami istri. Namun ada dampak secara tidak langsung, khususnya mereka yang sudah punya anak. “Dampaknya kepada anak, belum lagi silaturahmi yang menjadi renggang,” ucapnya.
Lanjut Kiai Amin, persoalan rumah tangga muncul karena salah satu pihak atau keduanya tidak sadar akan hak dan kewajiban masing-masing. Jika hak dan kewajiban itu bisa dipahami dan disadari, tentu mahligai rumah tangga bisa diselamatkan lewat mediasi. “Tapi kalau mengedepankan ego, tentu sulit,” ucapnya.
Hal ini juga berkaitan dengan persiapan pra nikah dari para mereka yang hendak menikah. Calon pengantin harus memahami hak dan kewajiban serta berbagai konsekuensi yang harus dihadapi setelah menikah. “Makanya pembekalan calon pengantin itu sangat penting,” katanya.
Ini juga harus menjadi perhatian untuk para lajang yang berencana menikah. Supaya mempersiapkan secara matang khususnya dalam hal mental dalam menjalani rumah tangga. “Karena urusan rumah tangga ini bukan hal yang sepele,” ucapnya.
Terpisah, Kepala Dinas Pengendalian Penduduk Keluarga Berencana Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DPPKBP3A) Kota Tasikmalaya Hj Nunung Kartini juga menyesalkan banyaknya keluarga yang retak hingga akhirnya terjadi perceraian. Secara umum, ekonomi dan perselisihan menjadi faktornya. “Kerentanan keluarga usia perkawinan muda juga terbilang tinggi,” ucapnya.
Maka dari itu, solusinya adalah meningkatkan kualitas ketahanan keluarga besar. Hal itu dari mulai pra nikah, pasca nikah serta penguatan ekonomi keluarga.
Pihaknya sudah mengupayakan pembinaan calon pengantin melalui kerja sama dengan Kementerian Agama. Karena diakuinya bimbingan pra nikah cukup penting, khususnya terkait fungsi keluarga. “Salah satunya memberikan materi 8 fungsi keluarga (penanaman agama, penanaman kasih sayang, sosial budaya, reproduksi, sosialisasi pendidikan, ekonomi dan pembinaan lingkungan),” ucapnya.
Untuk menekan angka pernikahan dini, pihaknya juga melakukan sosialisasi kepada para remaja. Supaya tidak terburu-buru dalam melaksanakan pernikahan di usia dini. “Kita sosialisasi tentang pendewasaan usia perkawinan,” ucapnya.
Di samping itu, pihaknya juga membuka layanan konseling untuk melayani konsultasi masalah rumah tangga. Supaya persoalan yang ada tidak menjadi semakin membesar. “Kita punya layanan Puspaga (Pusat Pelayanan Keluarga) untuk konseling,” terangnya.
Pihaknya pun melakukan pelatihan-pelatihan keterampilan perempuan untuk berwirausaha. Supaya perekonomian mereka tetap stabil mengingat faktor finansial cukup penting. “Supaya perempuan mendapat keterampilan dan punya kontribusi untuk mencukupi kebutuhan rumah tangga,” ucapnya.
Seperti diketahui, sebanyak 1.881 rumah tangga di Kota Tasikmalaya mengalami keretakan dan masuk proses cerai di Pengadilan Agama Kota Tasikmalaya. Sebagian besar dari perkara yang masuk di antaranya sudah resmi berpisah.
Berdasarkan data Pengadilan Agama Kota Tasikmalaya, sejak awal Januari -22 November 2021, tercatat ada 1.881 perkara perceraian yang masuk. Sebanyak 1.773 di antaranya sudah sampai pada putusan.
Panitera Muda Gugatan Pengadilan Agama Kota Tasikmalaya Yayah Yulianti SAg mengatakan kebanyakan putusan akhirnya perceraian. Hanya beberapa pasangan saja yang kembali rujuk. “Dari 100 perkara, paling 6 yang dicabut perkara,” ungkapnya kepada Radar, Senin (22/11/2021).
Faktor utamanya, seperti tahun-tahun sebelumnya dikarenakan masalah ekonomi. Bisa itu memang karena suami yang tidak memberikan nafkah cukup, atau tuntutan istri yang tidak sesuai kemampuan suami. “Kebanyakan memang faktor ekonomi,” ucapnya.
Selain itu, perselisihan yang berkepanjangan pun cukup banyak menjadi penyebab perceraian. Hal ini biasanya komunikasi antara suami istri sudah semakin meruncing.
Maka dari itu, kebanyakan yang menginginkan perceraian datang dari pihak istri. Hal itu terlihat dari cerai gugat yang masuk ke Pengadilan Agama. “Rata-rata setiap tahun perbandingannya 70:30, lebih banyak cerai gugat dari istri,” ucapnya.
Namun melihat jumlah sementara, lanjut Yayah, tahun ini mengalami penurunan di banding tahun sebelumnya. Karena di bulan November tahun 2020 kemarin, jumlah perkara lewat angka 2 ribu. “Perbandingan dengan bulan yang sama (November) tahun ini mengalami penurunan,” katanya.
(rga)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: