Misteri 2.0 [Dahlan Iskan]
radartasik.com - KABAR baik dulu: tim nasional olahraga kriket Afghanistan diizinkan bertanding ke Australia. November nanti.
Tim Junior itu juga diizinkan melawat ke Uni Emirat Arab. Ke pertandingan penyisihan Piala Dunia Kriket di bawah usia 19 tahun.
Mungkin ini juga belum bisa disebut berita terlalu menggembirakan. Kriket memang olahraga paling populer di sana —termasuk di kalangan Taliban sendiri.
Rasanya sebuah berita baru bisa gembira kalau tim bola voli putri sudah boleh bertanding di depan publik. Pun kalau harus pakai hijab.
Di zaman Taliban 1.0, praktis semua olahraga dilarang. Stadion sepak bola dipakai menggelar pertunjukan lain: eksekusi hukuman mati.
Begitu banyak orang yang dihukum mati. Tiap Jumat ada saja pertunjukan pengganti sepak bola itu.
Berita gembira lainnya: Turki akan ditunjuk mengelola bandara internasional Kabul. Dan Taliban tidak akan menyerang lembah Panjshir —tempat pejuang anti-Taliban mengonsolidasikan kekuatan.
"Tidak akan ada perang lagi," tegas jurubicara Taliban.
"Semua sudah kami ampuni. Tidak akan ada balas dendam," tambahnya.
Taliban memang sedang mengepung lembah itu. Tapi tujuannya bukan untuk mempersiapkan serangan.
Mereka mengepung untuk memberikan tekanan agar anti-Taliban mau berunding untuk masa depan Afghanistan.
Berita artis: bintang film terkemuka Lollywood Reema Khan nebeng populer. Dia pasang foto bersama suami: Dr Shehab. "Suamiku berangkat ke Doha membantu pengungsi Afghanistan. Saya bangga pada suamiku."
Sudah. Itu saja. Reema telah membintangi lebih 200 film di Lahore. Suaminyi itu seorang dokter warga Amerika keturunan Pakistan.
Biarkanlah Reema numpang lewat. Jangan dikomentari. Mumpung ada seorang istri yang bangga pada suami.
Berita buruknya: serangan demi serangan di sekitar Panjshir akhirnya terjadi.
Alasan Taliban: mereka tidak mau diajak berunding. Alasan dari yang anti-Taliban: mereka mempertahankan diri.
Sejauh ini puncak-puncak gunung di kawasan itu masih dikuasai anti-Taliban. Itu berarti semua "pintu" masuk ke lembah Panjshir sulit dijebol.
Lembah itu memang kebanggaan kelompok pejuang Afghan suku Tajik.
Penjajah mana pun belum pernah bisa memasukinya. Taliban pun boleh jago di gunung-gunung yang lain, tapi tidak di Panjshir.
Berita buruk lainnya: pemerintahan Republik Emirat Islam Afghanistan belum juga terbentuk.
Padahal pelayanan untuk umum tidak boleh berhenti: terutama listrik, air, transportasi, dan kesehatan.
Awalnya diberitakan, pembentukan itu menunggu tentara Amerika benar-benar sudah meninggalkan Afghanistan.
Tanggal 31 Agustus tengah malam. Done. Seorang jenderal Amerika berjalan di apron bandara Kabul. Ia menuju pintu pesawat militer C-17 yang sudah penuh dengan anak buahnya.
Itulah tentara terakhir Amerika di Afghanistan: Major General Chris Donahue, komandan Airborne Divisi 82.
Keesokan harinya, 1 September, terjadi semacam perayaan kemenangan Taliban. Di Kandahar — "ibu kota" Taliban.
Kendaraan tempur canggih peninggalan Amerika berparade. Satu helikopter Black Hawk terbang muter-muter di atasnya.
Tidak ada pengumuman apa-apa soal pemerintahan.
Di Amerika, media mengungkap adanya rekaman pembicaraan telepon antara Presiden Joe Biden dengan Presiden Ashraf Ghani.
Itu terjadi lebih sebulan sebelum Ghani memutuskan meninggalkan Afghanistan, begitu saja, tanggal 16 Agustus lalu.
Di pembicaraan telepon itu kelihatan kedua presiden sama-sama tidak puas. Biden terus mendesak Ghani untuk memperbaiki kinerja. Ghani mendesak Biden segera mengucurkan bantuan.
Waktu saling desak itu terjadi separo provinsi di Afghanistan sudah jatuh ke tangan Taliban.
Pasukan Ghani melemah di semua sektor. Mereka belum juga gajian. Demikian juga para penyelenggara negara lainnya.
Biden menyebut Ghani punya tentara jauh lebih banyak dari pejuang Taliban (300.000: 160.000). Biden memuji tentara Ghani itu sebenarnya hebat-hebat.
Mestinya tentara pemerintah menang jumlah, menang fasilitas, menang mutu latihan, dan menang persenjataan. Tapi Afghanistan jatuh ke tangan Taliban begitu mudahnya. Hampir tanpa perlawanan.
Amerika dan sekutu memang tidak mudah mengeluarkan bantuan. Harus mendapatkan persetujuan Kongres. Syarat pengajuannya pun tidak mudah. Harus ada pertanggungjawaban untuk dana bantuan sebelumnya. Termasuk apakah bantuan itu sudah menghasilkan target yang direncanakan.
Biden tentu sulit memperjuangkan tambahan bantuan kalau hasilnya tidak terlihat jelas di lapangan. Biden terus mendesak Ghani untuk merangkul para pemimpin Afghanistan lainnya. Setidaknya agar kelihatan kompak dalam melawan Taliban.
Biden sampai bicara ke soal teknis komunikasi.
"Adakanlah temu pers bersama. Seluruh pemimpin dari berbagai kelompok hadir di forum itu," ujar Biden.
Maksudnya agar, setidaknya di depan pers, mereka terlihat kompak.
"Saya sudah bertemu Hamid Karzai sampai 90 menit," jawab Ghani. "Ia tidak mau. Ia justru terus mencela saya sebagai kacungnya Amerika," tambahnya.
Rupanya sang presiden memang lagi frustrasi. Taliban terus merangsek. Pemerintah tidak punya anggaran —pun untuk pasang baliho. Apalagi untuk gaji tentara dan pegawai negeri. Bagaimana pun merangkul begitu banyak pihak perlu anggaran.
Maka lari ke luar negeri adalah pilihan terakhir Presiden Ghani. Ia pilih bersembunyi. Tiarap. Tidak ada kabar sama sekali. Ia hidup di Uni Emirat Arab. Untuk sementara. Kalimat terakhirnya Anda masih hafal: saya pilih meninggalkan istana demi menghindari pertumpahan darah.
APBN Afghanistan memang sangat tergantung pada bantuan asing. Sampai 75 persen dari anggaran yang diperlukan. Maka kebangkrutan sebenarnya memang tinggal tunggu waktu. Dan itu terbaca oleh siapa saja —termasuk oleh Taliban.
Coba saja. Negara mana yang mau menyusui terus-menerus tanpa tahu kapan akan berakhir.
Afghanistan praktis tidak punya pendapatan untuk negara. Tidak ada industri. Tidak ada pelabuhan. Tidak ada barang yang bisa diekspor —kecuali opium. Orang pintarnya pun banyak yang mengungsi.
Bayangkan, pendapatan dari pajaknya didominasi dari pajak opium. Mencapai 10 persen. Persentase itu kelihatan besar karena keseluruhan penerimaan pajaknya memang sangat kecil.
Saya pernah ke pusat tanaman opium di segitiga emas Thailand-Burma. Bersama Tomy Winata. Pakai pesawat khusus. Kami ingin melihat sukses Thailand mengubah pusat opium itu menjadi perkebunan buah almond. Untuk diekspor.
Kisah sukses itu terdengar sampai Afghanistan. Ingin meniru. Tim dari Thailand sudah diundang ke pusat opium di Afghanistan. Sudah merancang kebun apa saja selain opium. Sebagai percontohannya. Saya tidak tahu bagaimana kelanjutan program itu.
Tentu sekarang ini muncul banyak problem berat di Afghanistan. Siapa lagi yang mau membantu dana —ketika pemerintah justru di tangan Taliban. Yang mengakui saja baru dua: Tiongkok dan Rusia. Yang lain masih tunggu apakah janji Taliban dipenuhi: lebih terbuka dan moderat.
Salah satu masalah berat di sana adalah: bagaimana cara mengakomodasikan 160.000 tentara pejuang Taliban ke dalam sistem ketentaraan nasional. Itu terjadi di mana pun pasca revolusi.
Di Indonesia, di awal kemerdekaan dulu, begitu sulit menampung tentara pejuang kemerdekaan seperti itu. Ada syarat umur. Pendidikan. Jenjang latihan.
Tidak semua tentara pejuang memenuhi syarat masuk tentara reguler. Muncullah kisah seperti tecermin dalam Jenderal Nagabonar. Lahirlah istilah eks KNIL dan eks tentara pejuang seperti PETA. Saling tuding: Peta menuding KNIL pengkhianat. KNIL menuding PETA tentara amatir.
Kesulitan lain: bahan bakar. Tapi kekurangan BBM mungkin bisa dibantu Iran. Demikian juga kekurangan listrik. Selama ini listrik Afghanistan dicukupi dari Iran. Atau dari Tajikistan dan Uzbekistan. Ada transmisi listrik antar-negara.
Kemampuan Afghanistan memproduksi listrik memang hanya 600 MW. Hanya sama dengan satu provinsi Kalsel. Di sana memang besar sekali potensi listrik tenaga air. Tapi baru ada beberapa PLTA skala kecil.
Di situlah Tiongkok akan menunjukkan kejagoannya: listrik tenaga air skala besar. Dari sini Afghanistan akan bisa ekspor listrik ke Pakistan. Dari situ pula industrialisasi hasil pertanian bisa dimulai. Lalu industri lainnya.
Pertanyaan besar saya: apakah internet akan terus diizinkan oleh Taliban. Afghanistan sudah punya satelit: Afghan-1. Itulah sebabnya sudah ada HP 4G di sana. Dimiliki perusahaan asing dari Emirat.
Jumlah kepemilikan handphone juga sudah hampir sama dengan jumlah penduduk: 34 juta HP untuk 38 juta warga negara.
Saya berharap Taliban tidak melarang Internet. Mungkin bisa belajar mengendalikan internet dari Tiongkok. Silakan saja politiknya dikendalikan. Tapi bidang hukum, pendidikan, ekonomi, ilmu pengetahuan, dan internet lucu-lucuan jangan dikendalikan.
Dari situlah perubahan sosial dan budaya bisa terjadi lebih cepat di Afghanistan.
Taliban 1.0 sudah lewat. Taliban 2.0 masih misteri besar. (disway)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: