Krisis Tertinggi [Dahlan Iskan]
Reporter:
agustiana|
Senin 23-08-2021,16:45 WIB
radartasik.com - SEKARANG ini terjadi krisis kontainer. Belum pernah separah ini.
Maka tidak hanya rakyat kecil yang punya persoalan. Para pengusaha besar juga menjerit —dalam hati.
Ekspor mereka terancam setengah mati. Sewa kontainer meroket. Belum pernah kenaikannya setinggi sekarang ini.
Bukan lagi puluhan persen. Ini ratusan persen. Bahkan ribuan.
Tahun lalu sewa kontainer 40 feet masih 2.500 dolar. Sekarang sudah menjadi 16.000 dolar.
Saya tidak sanggup menjadikannya dalam persen. Hati saya terlalu miris.
Bukan saja sangat mahal. Juga langka. Sulit mendapat kontainer. Bahkan sulit mendapat kapal!
Saya teringat Manado dan Gorontalo. Yang lagi semangat-semangatnya ekspor santan dan tepung kelapa.
Saya juga ingat para petambak udang se-Indonesia. Juga nelayan. Dan semua pengusaha komoditas ekspor. Termasuk petani dengan orientasi ekspor.
“Ini tidak pernah terjadi dalam dunia shipping container,” ujar Charles Menaro, bos besar PT Pelayaran Meratus. “Tiba-tiba saja semester pertama 2021 jumlah cargo melonjak. Seluruh dunia,” ujar Charles.
Charles mewarisi perusahaan perkapalan Meratus dari ayahnya, Hen Menaro —seorang pembina bulu tangkis beken di masa lalu. Atau dikenal juga dengan nama The Pek Siong.
Saya banyak belajar dari almarhum. Saya sering diajak ke villanya di Tretes. Di situ ia bercerita: jangan sampai bangkrut lagi.
"Bangkrut itu terhina sekali. Semua orang mengejek dan ikut menekan. Harga diri hancur," katanya.
Maka ketika Meratus sudah bisa bangkit lagi Menaro terus berhemat. Pun ketika perusahaan sudah kembali menjadi yang terbesar. Ia tetap selalu naik pesawat kelas ekonomi.
"Kalau kelas ekonomi dibilang tidak enak, jauh tidak enak ketika bangkrut,” katanya.
Orang seperti Menaro selalu menjadi pengingat agar hidup tidak harus bermewah-mewah.
Sampai sekarang saya masih berhubungan baik dengan anak-anaknya. Saya lihat, belakangan, Charles memang sudah berani naik kelas bisnis, tapi perusahaan itu memang kian besar saja.
Semula saya tidak percaya bisa terjadi krisis kontainer. Tapi tidak hanya satu orang yang menemui saya. Beberapa pengusaha ekspor terus mengeluhkan hal yang sama. Saya pun menghubungi Charles. Ternyata Charles membenarkannya.
Krisis ini kelihatannya akan panjang. Mengatasi kekurangan kapal tidak bisa dalam hitungan bulan.
Terlalu banyak kapal yang dijadikan besi tua selama dua tahun terakhir. Pun kapal yang kondisinya masih sangat baik. Harga besi tua lagi tinggi-tingginya (Baca Disway 20 Mei 2021: Harga Pagar Baja).
Saya lantas teringat teman saya di Manado: Jeffry Jocom (baca: yokom). Ia baru semangat semangatnya mengembangkan pabrik kelapa. Pasar ekspor tepung kelapa lagi baik-baiknya.
Dulu kita selalu nyinyir: mengapa tidak ada pabrik pengolahan kelapa di Sulut. Jeffry membangunnya. Lalu membangun lagi.
Pabrik kelapanya kini bisa mengolah 1 juta butir kelapa sehari. Sulit ya membayangkan 1 juta kelapa diproses hanya dalam satu hari.
Itu termasuk pabrik lama yang ia beli dari pengusaha Sulsel, Baramuli. Juga termasuk pabrik baru yang ia bangun di Gorontalo.
Jeffry ekspor tepung kelapa ke Eropa. Untuk bahan makanan dan kosmetik.
Belakangan ia bisa ekspor santan beku ke Tiongkok. Ekspornya naik terus.
Di sana dijadikan minuman botol atau kaleng. Dicampur dengan air kelapa.
“Mereka juga sudah minta contoh air kelapa dari Indonesia. Saya sudah kirimkan,” ujar Jeffry.
Selama ini santan dari Indonesia itu dicampur dengan air kelapa dari Vietnam —jaraknya lebih dekat.
Tapi karena sudah bisa menerima santan dari Indonesia sekalian saja mereka akan impor air kelapa beku dari kita.
“Ayah Anda juga lahir di Manado?” tanya saya.
“Iya pak,” jawabnya.
“Anda generasi ke berapa yang lahir di Manado?” tanya saya.
“Saya pribumi Manado pak,” jawabnya.
Awalnya saya benar-benar menyangka Jeffry itu Tionghoa —melihat wajah dan kegigihannya.
Jefry hanya tamat SMA di Manado —SMA Katolik Don Bosco. Lalu merantau ke Surabaya.
Ayahnya seorang tukang, terutama tukang cat. Ikut orang. Tidak mampu menyekolahkan Jeffry ke universitas.
Di Surabaya, Jeffry bekerja jadi penunggu toko buku di jalan KH Mas Mansyur. Hanya sebentar. Lalu jadi pegawai ekspedisi. Selama 4 tahun.
Dari situlah Jeffry mengetahui seluk beluk ekspedisi. Lalu ia bikin usaha ekspedisi sendiri kecil-kecilan. Khusus untuk jurusan Surabaya-Manado.
Usaha Jeffry berkembang. Ia bisa beli kapal kecil. Lalu beli lagi, beli lagi. Berkembang terus. Ia pernah punya 15 kapal.
Di Surabaya, Jeffry bertemu wanita Tionghoa asal Makassar. Itulah istrinya. Yang memberinya anak kembar —wanita semua (Lihat foto). Anak-anak itu kini terjun di perusahaan sang ayah. Memegang keuangannya.
“Semua kapal sudah saya jual. Saya konsentrasi di pabrik kelapa,” ujar Jeffry.
Karena itu Jeffry sangat khawatir akan krisis kontainer ini.
“Tolong Pak, bagaimana keadaan ini bisa mendapatkan jalan keluar,” ujarnya.
Ia pun memberikan tabel kenaikan sewa kontainer yang begitu cepat.
“Kapan persoalan ini akan selesai?” tanya saya kepada Charles Menaro.
“Tidak ada yang tahu,” jawabnya.
Menurut Charles, sekarang ini, beberapa perusahaan pelayaran memang lagi memesan kapal. Tapi kan baru jadi akhir 2022. Berarti krisis ini bisa sampai 2024.
Semula, saya kira, krisis ini hanya akibat ketidakseimbangan antara ekspor dan impor. Terlalu banyak ekspor. Impornya sedikit. Akibatnya lebih banyak kontainer yang pergi daripada yang datang.
Problem seperti itu pernah terjadi di Tiongkok. Dua tahun lalu. Khusus jurusan Tiongkok—Amerika Serikat.
Anda pun sudah tahu, Tiongkok terus meningkatkan ekspor ke Amerika. Tapi impornya menurun. Akibatnya kontainer-kosong lebih banyak numpuk di Amerika. Sampai-sampai Tiongkok mengangkut kontainer kosong itu kembali ke Tiongkok.
Yang terjadi sekarang ini ternyata bukan seperti itu. Lebih parah. Sudah bisa dibilang krisis. Tidak lagi hanya persoalan kontainer tapi juga kelangkaan kapal.
“Sudah sejak dua tahun lalu tidak ada orang membeli kapal baru,” ujar Charles.
Harga komoditas ekspor pun akhirnya ditekan. Kenaikan ongkos kontainer itu dibebankan pada muatan yang akan dimasukkan ke kontainer.
Menteri kesehatan memang masih sibuk dengan Covid-19. Kini giliran menteri perdagangan yang harusnya tidak kalah pusingnya.
(disway)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: