Bahasa Isyarat sebagai Jembatan: Menilik Pendidikan Tuli di Kota Tasikmalaya
Nurul Fadilah SPd, saat menjadi translater bahasa isyarat dihadapan disabilitas penyandang tunarungu pada acara OJK Peduli di SLB Lestari, Jumat 23 Mei 2025. ayu sabrina b / radar tasikmalaya--
“Bahasa adalah jembatan komunikasi. Jika pesan tidak tersampaikan dengan baik, maka pendidikan juga gagal. Guru harus tahu kapan menggunakan SIBI dan kapan harus beralih ke BISINDO,” ujarnya.
Di tengah perdebatan ini, Paguyuban Pegiat Disabilitas Tasikmalaya (Papeditas) hadir sebagai suara inklusif yang mengajak untuk tidak memilih salah satu bahasa saja.
Aris Rahman, SPd, aktivis disabilitas dari Papeditas, menegaskan pentingnya keberadaan kedua bahasa isyarat itu berjalan berdampingan.
“Kami mendorong agar SIBI dan BISINDO dapat digunakan bersamaan, bukan saling menggantikan. Ini bukan hanya soal komunikasi, tetapi juga tentang melestarikan bahasa dan identitas budaya komunitas Tuli di Indonesia,” tegas Aris.
Lebih jauh, Aris mengajak masyarakat umum untuk belajar bahasa isyarat sebagai bagian dari budaya inklusif yang mempererat hubungan antarwarga.
“Mari kita sosialisasikan belajar bahasa isyarat, baik SIBI maupun BISINDO, agar komunikasi yang inklusif dapat terwujud. Ini juga mendukung kebijakan aksesibilitas, termasuk ketersediaan juru bahasa isyarat di ruang publik dan media,” pungkasnya.
Di Kota Tasikmalaya, diskusi ini bukan sekadar tentang bahasa, tapi tentang bagaimana sebuah komunitas disabilitas dapat tumbuh dan berkembang dengan hak komunikasi yang setara dan penuh penghormatan.
Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News
Sumber: