Mereka tidak menyangka panglima pilihan Baginda Harun Al Rasyid sosok yang berbeda dengan rajanya.
Lagi pula apa salah mereka yang hanya sastrawan alias pujangga. Sehingga salah jawab harus ada konsekuensi hukuman penggal keji.
“Maaf tuanku, apa salah kami harus menanggung konsekuensi begitu berat,” protes para sastrawan serempak.
“Aku yang berkuasa saat ini. Terserah apa mauku,” timpal panglima dengan suara keras.
Para sastrawan pun ciut. Mereka pasrah mengikuti apa yang diinginkan panglima.
“Sekarang jawab pertanyaanku, apakah aku termasuk pemimpin yang adil atau pemimpin yang keji?” suara panglima terdengar keras.
Para sastrawan bergantian menjawab.
“Tuanku termasuk pemimpin yang adil,” kata seorang sastrawan memuji.
“Kamu salah. Aku ini pemimpin keji. Prajurit, tangkap orang ini. Jebloskan ke penjara, dan pecan depan kita hukum penggal,” titah panglima langsung ditunaikan prajurit kerajaan.
Ditangkaplah sastrawan itu.
“Tuan seorang pemimpin kejam. Seenaknya menjatuhkan hukuman,” kata satrawan lainnya.
“Kamu menuduhku kejam. Aku ini pemimpin yang adil,” jawab panglima.
Lalu diperintahkannya sastrawan itu ditangkap dan masuk penjara.
Akhirnya para satrawan itu masuk penjara. Jawaban mereka dianggap salah semua oleh panglima.
Tersiarlah kejadian masuknya para sastrawan ke penjara itu ke seluruh negeri.
Istri-istri dan anak-anak para satrawan begitu bersedih. Mereka marah kepada panglima yang memenjarakan suami-suaminya.