Haram! Kepala Hewan Kurban Dijadikan Upah dan Kulitnya Dijual, Begini Alasannya

Senin 05-06-2023,03:33 WIB
Reporter : Abdullah Mufti Nurhabib
Editor : Ruslan

Dengan demikian, dana yang ditarik atau dikumpulkan dari para pekurban harus dipisahkan atau dibedakan antara dana untuk pembelian hewan kurban dengan dana untuk membiayai operasional.

Dana untuk pembelian hewan kurban, seluruhnya harus digunakan hanya untuk membeli hewan kurban.

Adapun untuk membiayai transportasi, pembelian peralatan dan perlengkapan dalam pengurusan hewan kurban, termasuk upah juru sembelih, para pekerja, dan sebagainya, itu semua bisa dialokasikan dari dana operasional.

Kedua, mengenai penjualan kulit hewan kurban.

BACA JUGA: Aksi Prenagen Peduli Stunting di Tasikmalaya, POGI Bakal Bergerak!

Dalam Al-Mustadrak, terdapat hadits shahih yang diriwayatkan oleh Al-Hakim dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah Saw bersabda, ”Barangsiapa menjual kulit hewan kurbannya maka ia tidak mendapatkan apa-apa dari kurbannya”.

Hal senada diungkap juga oleh Imam As-Suyuthi dalam Al-Jami’ush Shaghir. Demikian juga di dalam Al-Majmu dan Al-Bajuri.

Jadi, pekurban tidak diperkenankan (haram) menjual kulit, bulu, daging atau bagian apa pun dari hewan kurbannya.

Bagaimana jika pihak yang menjual itu adalah panitia kurban?

BACA JUGA: 6 Keunggulan Motor Listrik United TX-1800 yang Dilengkapi 3 Level Kecepatan

Mengenai hal ini, perlu dipahami bahwa panitia kurban adalah sekelompok orang tertentu yang pada umumnya dipersiapkan oleh suatu organisasi (ta’mir masjid, mushala, instansi dan lain-lain) guna menerima kepercayaan (amanat) dari pihak pekurban agar melaksanakan penyembelihan hewan kurban dan membagikan hasil sembelihannya.

Karena itu, dalam pandangan fiqh, panitia adalah wakil dari pekurban dengan akad wakalah (perwakilan).

Wakalah secara syar’i menurut Hamisy Hasyiyah Al-Bajuri adalah penyerahan oleh seseorang tentang sesuatu yang boleh ia kerjakan sendiri dari urusan-urusan yang bisa digantikan kepada pihak lain agar dikerjakan pada waktu pihak pertama masih hidup.

Selanjutnya dalam Hasyiyah Al-Jamal, wakil adalah pengemban amanah karena ia sebagai pengganti muwakkil (yang mewakilkan) dalam kekuasaan dan tasharruf. Jadi, kekuasaannya seperti kekuasaan pihak muwakkil.

BACA JUGA: Tanda Koper Jemaah Haji Indonesia ‘Aneh-Aneh’ dari Centong Nasi sampai Serabut Kelapa dan Sendal

Dalam Al-Muhadzab juga diterangkan bahwa tidak berkuasa seorang wakil dari urusan tasharuf melainkan sebatas izin yang didapat dari muwakkil melalui jalan ucapan atau adat (urf) yang berlaku.

Kategori :