Kalau Iran bisa membantu energi untuk Pakistan (dan Afghanistan), kemiskinan di dua negara itu bisa teratasi. Tentu ada yang takut kalau Pakistan dan Afghanistan bangkit.
Maka Qatar nyaris sendirian menyedot danau gas yang terbesar di dunia itu. Padahal penduduk Qatar hanya 11-12 dengan Singapura. Bahkan yang ber KTP Qatar hanya separonya: sekitar 2,5 juta orang. Selebihnya orang asing: banker, eksekutif, konsultan dan buruh kasar. Beberapa orang Indonesia bekerja di tambang minyak dan gas di sana.
Maka membangun 8 stadion baru untuk Piala Dunia tidak ada artinya. Termasuk pun bila salah satunya akan langsung dibongkar begitu Piala Dunia selesai. Mungkin Pak Jokowi bisa merayu Raja Qatar untuk memindahkannya ke Kanjuruhan. Daripada dipindah ke Uruguay. Pak Jokowi bisa saja berjanji tidak akan mengalahkan sepak bola Qatar sepanjang stadion itu masih berdiri. Pun kalau tim Indonesia masuk Piala Dunia kelak: tidak akan berlaku seperti Equador yang sampai hati mempermalukan Qatar 0-2 di depan Rajanya sendiri, di acara pembukaan pula.
Memang Sinegal juga mempermalukan Qatar di pertandingan berikutnya (1-3), tapi itu hanya malu tambahan. Tidak sengaja. Senegal menang karena terpaksa. Agar Sadio Mane, hehe, mau kembali ke Liverpool yang kelimpungan gara-gara ia pindah ke Bayer Munchen.
Stadion yang akan langsung dibongkar itu, Anda sudah tahu: Stadion 974. Unik. Terbuat dari 974 kontainer. Jangan-jangan krisis kontainer dua tahun lalu itu akibat Piala Dunia ini.
Saya sebenarnya mau ikut mempersoalkan apa yang terjadi di FIFA hingga organisasi sepak bola dunia itu menunjuk Qatar sebagai tuan rumah. Tidak masuk akal. Apalagi sampai menggeser jadwal Liga Inggris dan Liga lainnya di seluruh dunia. Bulan November-Desember enak-enaknya nonton bola di Eropa. Justru digeser oleh Qatar. Kalau pun mau di Qatar seharusnya tetap di bulan Juli. Agar Qatar memikirkan bagaimana membangun AC yang bisa mendinginkan seluruh negara.
Tapi yang mempersoalkan itu sudah terlalu banyak. FIFA bergeming. Saya pun harus move on. Saya justru bersyukur Piala Dunia di Qatar. Setidaknya bisa merukunkan dua tetangga yang nyaris perang: Qatar vs Saudi Arabia.
Bayangkan kalau rencana gila Arab Saudi itu jadi dilaksanakan: daratan dua negara Arab itu akan dipisahkan oleh laut. Waktu sengit-sengitnya konflik itu Saudi sudah merencanakan menggali perbatasannya dengan Qatar. Sepanjang perbatasan. Selebar 120 meter. Jadilah Qatar sebuah pulau terpisah yang kecil. Ia bukan lagi bagian darat dari Semenanjung Arabia. Penerbangan pun dihentikan. Jalan darat terputus. Visa tidak dikeluarkan.
Untunglah konflik mereda. Galian itu diurungkan. Kalau tidak bagaimana coba tim sepak bola Arab Saudi bisa menuju stadion Qatar. Harus disediakan sampan-sampan kecil untuk menyeberang kan mereka. Itu pun kalau Qatar tidak membiakkan buaya di laut pemisah itu.
Maka kalau tim raksasa Argentina kalah 1-2 dari tim remehan Arab Saudi sebenarnya itu terpaksa. Itu bukan untuk mempermalukan Lionel Messi, tapi sekadar untuk meledek Qatar. Sebenarnya Arab Saudi sudah siap kalah. Rolls-Royce untuk para pemain Saudi itu, hehe, bisa disiapkan oleh Qatar. Biar ada teman malu.
Bahwa Saudi tetap membelikan Rolls-Royce pada setiap pemainnya itu karena harga semua Rolls-Royce itu, berikut semua pemainnya, masih lebih murah dari harga satu orang Messi.
Soal Jepang mengalahkan raksasa Jerman itu juga terpaksa. Jerman selama ini memilih beli gas dari Rusia. Jepang membeli LNG dari Qatar. Rusia dianggap mencaplok pulau-pulau Kuril di utara Jepang. Maka berlaku hukum konflik: lawannya lawan adalah teman lawan. Jepang harus mengalahkan Jerman. Harus 1-2. Harus mirip Saudi mengalahkan Argentina. Sama-sama harus kena penalti dulu di babak pertama.
Jerman sebenarnya sudah membaca itu. Yakni ketika mendapat penalti di babak pertama. Ini akan senasib dengan Argentina. Cak Lontong pun buru-buru membakar kemenyan di dekat gawang Jerman. Ketika pemain Jepang tiba-tiba sampai di dekat gawang, kiper Jerman itu lagi sibuk ingin menyingkirkan dupa itu. Ia lupa bahwa dalam ancaman seperti itu seharusnya seorang kiper tidak merunduk.
"Pelatih mana pun sulit menjelaskan mengapa di saat seperti itu seorang kiper tidak berdiri tegak," ujar seorang analis di Eropa.
Dengan kekalahan Argentina dan Jerman itu seluruh mata tinggal tertuju pada Inggris dan Brasil. Tapi football Inggris ternyata tidak bisa mengalahkan soccer Amerika.
Berarti tersisa satu: Brasil. Atau dua: Spanyol. Kan tidak mungkin Tiongkok.