Radartasik, JAKARTA - Gugatan yang diajukan oleh Mantan Presiden Amerika Serikat Donald Trump kepada platform media sosial Twitter akhirnya ditolak oleh seorang hakim federal di California pada Jumat (06/05/2022) .
Sebelumnya dalam argumen gugatannya Trump menyatakan bahwa Twitter telah menyensor akun miliknya.
Tindakan tersebut dinilai melanggar hak kebebasan berbicara sesuai dengan klausa Amandemen Pertama (First Amandment). Namun argumen tersebut dinyatakan lemah oleh hakim dalam putusannya.
Alasannya, karena Amandemen Pertama itu hanya melarang badan pemerintah untuk menyensor apa yang dikatakan warga, bisnis swasta seperti Twitter tidak termasuk ke dalam klausa tersebut.
"Pengaduan itu tidak secara masuk akal menuduh klaim Amandemen Pertama terhadap Twitter,” ujar Hakim Pengadilan Distrik AS James Donato dalam putusannya, seperti dilaman rmol. Id yang dikutip dari NDTV, Sabtu (07/05/2022).
BACA JUGA:Sejak Tahun 2015, Kecelakaan Wisatawan di Pantai Sindangkerta, Kabupaten Tasikmalaya, Menurun
“TOS (persyaratan layanan) memberi izin kontraktual kepada Twitter untuk bertindak sebagaimana yang dianggapnya sesuai, itu berlaku untuk akun atau konten apa pun untuk alasan apa pun atau tanpa alasan apa pun,” tambahnya.
Namun Donato membiarkan pintu terbuka untuk gugatan yang diajukan oleh Trump, American Conservative Union, dan beberapa orang yang berpendapat bahwa mereka “ditendang dari platform” untuk dimodifikasi dan diteruskan kembali ke pengadilan, bila memadai.
BACA JUGA:Pria yang Memaki Polisi Tinggal di Permukiman Elite Bogor, Kombes Ibrahim Tompo Jelaskan Ini
Lebih rinci, gugatan itu menyebut Twitter dan mantan ketuanya Jack Dorsey sebagai terdakwa, dan meminta ganti rugi tunai serta perintah agar akun yang ditangguhkan segera dipulihkan.
Twitter secara permanen menangguhkan akun Trump dua hari setelah pidatonya pada 6 Januari 2021 “Hentikan Pencurian” yang mengobarkan massa dan kemudian mengepung Capitol ketika anggota parlemen mengesahkan kemenangan Presiden Joe Biden.
Trump dikeluarkan dari Twitter karena risiko hasutan kekerasan lebih lanjut yang disebabkan oleh tweetnya, ujar Twitter saat itu.
Namun status hukum itu mulai memiliki celah ketika Elon Musk sedang dalam proses membeli Twitter dan berjanji untuk membatasi moderasi konten ke minimum hukum.